Cerpen Radhar
Panca Dahana (Kompas, 12 Maret 2017)
AKU
tahu, di tiap “sakit itu”, “tak siapa pun di situ”. Kesendirian, kadangkala
juga sebuah kesunyian, memang adalah watak sakit yang sebenarnya. Tapi tidak
kali ini. “Sakit ini”, rasa sakit yang ada sekarang ini, bahkan “aku pun tidak
di sini”. Entah kenapa. Aku belum paham, apakah ini hikmah atau jati diri sakit
yang sesungguhnya. Yang melampaui kesadaran biologis bahkan kepekaan
psikologisku. Ah… aku…aku sesungguhnya tidak cemas pada “sakit ini atau itu”,
aku juga tidak peduli ini watak atau jati diri sakit yang sesungguhnya atau
bukan. Apa yang kucemaskan hanyalah kesadaran dan kepekaan itu. Adakah aku
masih memilikinya?
Aku
mencoba paham, jangan-jangan aku sudah “mengatasi” sakit itu, atau ini keadaan
yang “meng-atas-i” sakit ini? Aku mencoba sekuatnya untuk merasakan,
menghayati, sebagaimana biasanya sakit semacam ini datang padaku. Tapi aneh,
bahkan ajaib, untuk pertama kali aku tidak bisa mempekerjakan kesadaran
fisiologis juga kepekaan psikologisku. Akal? Sejak mula sebenarnya sudah tidak
bekerja. Ia berhenti dengan sendirinya. Ia bukan lagi sentrum atau pusat di
mana seluruh kapasitas berbicara tubuh dan perasaanku ditentukan. Akal adalah
bagian yang lebih cepat mati.
Saat Maut Batal Menjemput ilustrasi Radhar Panca Dahana/Kompas
Mati?
Jangan-jangan tak hanya akalku. Menurut ukuran medis di Amerika Serikat yang
kutahu, kematian (biologis setidaknya) ditentukan oleh daya kerja otak, sebagai
bagian paling sentral dari kehidupan (yang mereka percaya, tentu saja). Sebagai
orang yang bukan-Amerika, sekurangnya menolak menjadi bagian dari sejarah
peradaban mereka, aku tidak begitu peduli atau tergantung pada otak alias akal.
Aku hidup dengan mengoperasikan secara lebih kuat daya kerja fisik dan
mental-emosional. Katakanlah secara sempit dan reduktif, refleks dan rasa.
Begitupun
kali ini, di tingkat “sakit ini”. Seluruh daya kukerahkan untuk mempekerjakan
kekuatan, ilmu hingga kesadaran biologis dan psikisku. Namun sekian lama,
sekian waktu yang kuanggap lebih dari cukup, aku tak merasakan apa-apa, tak
menyadari apa-apa. Apa tubuh dan emosiku sudah tidak bekerja lagi? Atau ia mati
akibat kematian otakku? Tidak. Tubuh dan emosi adalah ilmu dan kesadaran,
budaya dan peradaban tersendiri, kadang lebih kuat dari akal.
Tapi
kini keduanya diam, sunyi sendiri. Apakah mereka pun mati? Apa artinya
sesungguhnya sakit ini adalah mati yang sejati? Namun mengapa aku masih bisa
melihat? Dengan penglihatan apa, dengan mata yang mana? Memang, pemandangan
yang kulihat berbeda dari biasa. Langit, awan dan bintang misalnya nampak hanya
sebagai kejembaran atau keluasan yang tak membutuhkan tepi bahkan isi.
Kekosongan ini memenuhi pandang, bahkan mataku. Bahkan seluruh diriku kini
seakan menjadi mata. Mata apa ini? Mataku yang mana? Mata siapa?
Kosong
ini memadati aku seperti tenaga yang terus mengumpul tiada henti, dengan daya
atau kekuatan tak terperi. Aku seperti noktah dengan gravitasi terbesar yang
segera akan menciptakan bang, semacam ledakan yang sangat hebat. Seperti ereksi
yang tak mungkin ditahan oleh kejadian atau perasaan apa pun. Beginikah kematian,
puncak semua kesakitan, melenyapkan keseluruhan diri dengan ledakan besar untuk
mengisi kosong yang penuh ini? Bagaimana aku sanggup menanggungnya? Tidak…tidak
aku tak sanggup, Tuhan.
“Memang…bagaimana
kau sanggup? Kau cuma manusia…cuma.”
“Betul.
Apa daya manusia di keluasan, kepenuhan semesta.”
“Kamu
bukan apa-apa…”
“Betul
aku bukan apa-apa.”
…
“Lalu,
aku apa?”
“Kamu
sekadar mata.”
“Mata?
Maksudmu?”
“Kamu
hanya penglihatan. Hanya bisa melihat. Mungkin memahami, sedikit. Tapi tak bisa
menyentuh…merasakan, memiliki…menciptakan, apalagi.”
“Oh…betul.
Tapi mata ini saja sudah begitu luar biasa. Hingga apa yang kulihat tak mampu
menangkapnya, menyimpan atau mencernanya. Tak ada sel otak manapun, bahkan
kata, huruf sekalipun dapat tersusun untuk memahami semua…semua yang ada pada
mataku saat ini.”
“Inilah
kenyataan kedua. Kenyataan yang harus kau baca.”
“Harus
kubaca? Melihat pun aku tak bisa seluruhnya.”
“Apa
kamu beragama?”
“Tentu
saja.”
“Pernahkah
kau membaca kitab-kitab dalam agamamu?”
“Tentu.”
“Untuk
apa?”
“Kewajiban.”
“Apa
tujuannya?”
“Ya…memahami,
isinya.”
“Pahamkah
kamu?”
“….Saya
tak tahu, tak bisa menilai.”
“Apa
sebenarnya paham itu?”
“Aku
tak mengerti maksudmu…?”
“Paham
itu bukan melulu mengerti arti, tersirat atau tersurat.”
….
“Bukan
sesuatu yang teranalisa, tersimpan dan tercerna dalam 1.300 cc isi otakmu.
Bukan hal yang melulu akal.”
“Maksudmu…”
“Huruf
terlalu terbatas dan miskin, bagi paham yang sebenarnya. Bagi kenyataan yang
terlalu besar untuk tertangkap dan dicerna indera. Seluas apa pun akal dan
imajinasi, ia hanya sungai di samudera hidup sesungguhnya.”
….
“Sesungguhnya
paham harus terjadi di seluruh bagian dirimu.”
“Bukan
hanya pikiran?”
“Jantung,
jempol, mata, rambut, tungkai, usus, batin, emosi, semua.”
“Bagaimana…?”
“Pertanyaannya
keliru. Jawaban pasti juga salah. Berhentilah hidup hanya dengan akal. Tubuhmu
terlalu hebat hanya untuk diperintah, diakali akal.”
“Sungguh…aku
tak paham.”
“Keluarlah
dari huruf. Temui kenyataan dan hidupmu sebenarnya, dengan seluruh yang ada
dalam dirimu. Dapatkanlah ilmu dalam jiwamu, dalam batinmu, dalam betismu,
dalam jakunmu, gigimu, dalam langkahmu…”
“Bagaimana…bisa?”
“Tidak
akan bisa. Karena kamu sudah terjebak sejak dini. Dalam huruf.”
“Tapi
tulisan, itulah kebudayaan, kemajuan manusia, hidup sebenarnya?”
“Kebudayaan
yang membuat keliru manusia, begitu lama.” Bibir misteri itu tersenyum, membuat
langit terbuka dan seperti sebuah mata mengintip di baliknya.
“Hah?
Jadi…”
“Jadilah
mata sesungguhnya, untuk membaca…”
“Membaca
apa? Melihat pun tak bisa.”
“Karena
kau merasa ini matamu yang dulu, mata yang biasa, di kepala.”
“Maksudmu…ini
mata yang lain lagi? Mata hati begitu?”
“Mata
seluruh dirimu.”
“Diri
yang menjadi mata?”
….
“Mata
sebenarnya mata?”
….
“Mata
yang melihat nyata yang sebenarnya nyata?”
Tersenyum
lagi.
Kali
ini langit lenyap. Semesta kosong, suwung. Aku tak dimana, tapi di sana. Semua
senyum semata.
***
SEJAK
tadi, ya sejak tadi, aku berdialog. Begitu saja. Tanpa kesadaran, seperti
dengan diri sendiri, seperti mimpi yang menguap. Begitu saja. Tapi…yang ini,
bukan mimpi. Di depan mataku kini muncul satu wajah. Bukan ilusi atau fana.
Nyata sebenarnya nyata. Wanita pula. Wanita yang tersenyum. Ya, senyum yang
tadi. Senyum yang seperti ironik, mengejek, juga senang dan bahagia karena
jawaban-jawaban terakhirku tadi? Monalisa?
Bukan.
Ia lebih sempurna, jauh lebih indah, terlebih kedalaman samudera di balik pandangannya.
Ia memandangku dengan cara yang membuatmu tak berdaya karena ia memenuhi
seluruh kosong yang sebelumnya memadatiku. Sinar matanya seperti riwayat jutaan
tahun peradaban manusia, menukik ke bagian terdalam hati, merenggut dan
menenggelamkanku, untuk selamanya. Untuk selamanya.
Mengapa?
Karena aku merasa seperti mendapat bantalan tidur yang tidak memberi sedikit
pun rasa ingin untuk bangun. Aku henyak, seperti duduk di pelaminan Adam.
“Apa
kamu Eva?”
“Aku
adalah semua hawa yang kau butuhkan untuk kosongmu.”
Ah…kalimat
itu diakhiri oleh nafas yang menghembuskan udara dimana molekul-molekul
penyusunnya bukan hanya menghidupkan makhluk, tapi juga benda mati. Inilah
nafas Kun, benih yang menghidupkan. Begitu pun aku. Barang mati karena sakit
ini.
Dan
apa yang dilakukan wanita sepenuh semesta di hadapanku ini selanjutnya, adalah
mimpi semua lelaki dari masa paling purba. Termasuk, tentu saja, penderitaan
lelaki yang sepanjang sejarah kebudayaannya sambil berurai airmata harus
menindas perempuan karena inferioritasnya di hadapan perempuan. Wanita ini
membebaskanku. Menjadikanku lelaki sesungguhnya lelaki, memberi rasa bangga dan
penghormatan sesungguhnya. Menjadi manusia sempurna dalam inferioritasnya.
Ia
meladeniku jauh lebih baik dari cara terbaikku untuk meladeninya. Ia
mengasihiku jauh lebih indah ketimbang cinta termulia yang kurasa dapat
kuberikan padanya. Ia melengkapi semua yang kosong seperti melesapnya air ke
celah rendah manapun yang ia lewati. Tanpa pamrih, apalagi prasangka. Aku
sungguh merasa menjadi lebih manusia, manusia-sempurna ketika ia membiarkanku
membaca, mengenali dan memahaminya lebih dalam.
“Ternyata
kamu ada memang untuk menjadi bacaan terbaikku.”
Ia
tersenyum.
“Menjadi
pintu terbaik atau bahkan satu-satunya untuk memahami makna dari semesta tak
terkatakan ini.”
Ia
memeluk.
“Eva…kamu
bukan hanya potongan yang melengkapi, tapi memang kesempurnaan Itu sendiri.”
Ia
mencium.
“Eva…tetaplah
di sini. Selamanya. Atau kau akan membuatku jadi puing hina, sia-sia.”
Ia
menggeluti seluruh inci dan saat hidupku, menciptakan kenyamanan yang bahkan
nyawa tak mampu membayarnya. Aku tak kuat menahan airmata untuk kebahagiaan
surgawi ini. Eva…kaulah surga sesungguhnya. Aku tak membutuhkan lagi apel, buah
apa pun, pohon apa pun, karena kau pohon dan buah itu yang sebenarnya. Tolong,
jangan renggut dirimu dariku, renggut aku dalam dirimu.
Ya
Tuhan, mengapa Kau memberi nikmat yang begitu berlebih ini. Jangan…jangan,
Tuhan. Janganlah berlebih begini, karena pasti aku tak mampu menanggung bayi
yang pasti lahir dari surga yang kumiliki ini, yakni bayi kecemasan. Cemas
karena Kaulah yang menghadirkan dan meluputkan surga…Eva, wanita bagi semua
Adam ini.
“Eva…kamu
dengar itu?”
Hmm…ia
memagutku.
“Eva,
dengar. Dengar ketakutanku itu?”
Hmmhh…ia
merasuk ke seluruh celah kenikmatan dan menutup seluruh pandang.
“Eva…ehh…jangan
kamu pergi…ok?”
Ia
tak bersuara, seperti kebisuan perempuan mencipta peradaban manusia pada
intinya.
“Eva…ehhh…”
….
“Ehhh…ehhhh….”
Ya
Tuhan, maaf…maaf, tak mampu aku menanggung kebahagiaan seperti ini. Pluk… Ada
tetes, ya airmata yang jatuh. Tapi bukan punyaku.
“Eva…”
Pluk…
“Kamu
menangis?”
Langit
basah, semesta pun samudera airmata.
“Mengapa…mengapa
menangis?”
Ia
hanya bisu. Tapi matanya seperti dulu. Dengan laut yang lebih dalam, sehingga
tak ada malaikat maupun iblis mampu menjangkaunya. “Eva….”
Aku
tak tahu apa yang terjadi. Dengan muka yang kuyup…entah sedih atau gembira
seperti terlukis di bibirnya…wanita segala nabi itu seperti gambar yang merabun
menjelang magrib tiba. Menjauh.
“Mengapa…mengapa
Eva?”
Ia
tetap menjauh. Tangan tak menggapai, jiwa pun tak sampai. Kecemasan itu bertamu
selekas dan sekuat kepergian itu. Apa yang terjadi?
“Mengapa…mengapa,
Tuhan?”
Aku
ingin berteriak. Tapi Eva seperti lenyap juga sebagai nama. Berganti ketakutan
yang datang seperti kepepatan dimana satu elemen udara pun tak tercipta untuk
menghasilkan nafas. Semua terasa menghimpit dan sesak. Bahkan airmata tak
tersisa. Hanya sakit. Ya rasa “sakit itu”. “Sakit ini” pun bersatu.
Tuhan.
***
Gelap.
Dengan
putus asa atau frustrasi yang begitu genap, aku memejamkan mata. Menghilang
pandang. Aku ingin buta. Aku buta. Aku tak perlu mata. Betapa hikmah besar itu
tak tertanggungkan dalam kekerdilan manusiaku. Gelap…cuma gelap yang kita rasa
mampu menghindari kita dari cemas dan takut yang luar biasa.
Namun
kau pun paham. Itu sia-sia, tipudaya percuma. Gelap justru mendatangkan cemas
yang memalu hatiku kian pilu. Tuhan, betapa sakitnya. Betapa sunyi dan
sendirinya, sakit seperti ini. Kenapa gelap tak mampu menutupinya, kenapa
cahaya juga tak kuasa mengusirnya. Tuhan, apa mesti kuperbuat? Masihkah aku
membutuhkan mata. Mata mana lagi?
“Bukalah
matamu, Adam.”
?
“Hei
bukalah matamu!”
?!!
Eva?
“Eva
siapa? Buka matamu, jangan bersandiwara lagi. Eva siapa?”
Plak!
Aku
merasakan sakit, kali ini di pipi. Pipi?
Plak,
plak!
Ya,
pipiku terasa perih, sakit bener, sehingga seperti refleks aku membuka mata.
“Apa
yang kamu pikirkan, lamunkan? Perempuan itu lagi? Eva sekarang, namanya?”
Sekarang
aku benar membuka mata, memandang. Dan sebuah pandangan di depan menghadang.
Pandangan kenyataan: seorang perempuan hampir empat puluhan, dengan tubuh yang
coba ia pelihara dengan baik. Tegak di depanku, dengan mata tajam, berupaya
lebih tajam dari pisau Swiss, tapi tak berhasil karena keluar negeri manapun ia
tak pernah.
Ya,
aku kenali sekali siapa yang menghadang pandangku itu. Dia perempuan yang
puluhan tahun ini bersamaku. Istri, istilah umumnya orang. Perempuan yang sudah
memberi empat anak, dan menurut dia, membantuku untuk mendapatkan jabatan
sebagai general manager di perusahaan exim tempatku bekerja sekarang.
Ia
sungguh memandangku dengan serius, dan sinarnya seperti cahaya LED TV
terbaruku, atau suratkabar, atau buku sejarah yang mengisahkan sejarah
perempuan dengan riwayat-riwayat dahsyat tapi mengalami penindasan permanen
oleh kebudayaan yang menurut mereka diciptakan lelaki. Dan aku adalah kumpeni
yang dilawan habis-habisan oleh keadaban padat dendam itu.
“Dik…”
“Tidak
perlu dakdik dakdik…aku mau kamu jawab jujur saja…siapa Eva?”
“Aku
gak tahu, Dik…gak ngerti.”
Plak!!
“Dik!”
Bibir
perempuan itu tidak perlu monyong untuk cemberut atau marah. Tapi monyongnya
itu, yang ia sebut seksi, memang menjadi penggoda banyak pria saat aku dulu
coba memacarinya. Aku sukses. Ya menikahi dia. Menikahi sejarah masa depan yang
hampir membuatku menyesal menjadi lelaki.
Aku
tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Seperti animasi yang berulang, suara
berdebam yang melewati tiga dinding tetangga akan menjadi musik pembuka saat ia
membanting pintu kamar tidur. Lalu seharian ia tidak keluar. Dan keluar beberapa
lama setelah aku keluar rumah menjalani general managerku.
Bila
aku tidak bisa memberi jawaban memuaskan mengenai “siapa Eva”, tragik masa
depan itu terjadi lagi, jadi semacam tradisi. Aku bangun menjelang subuh,
bebenah sendiri, membuat sarapan sendiri, makan sendiri, melap mobil sendiri,
memanaskannya, dan berangkat sendiri, tanpa satu pun bisa kusalami.
Sampai
bila? Siapa bisa menerka. Karena hingga bila aku bisa menjawab pertanyaan
absurd itu: “siapa Eva”? Aku memang tak mengenalnya. Tahu atau ingat pun tak.
Hanya seolah ia bayangan yang sangat buram yang pernah menjadi bagian ingatan
dari kulit, daging, kepala, hingga mataku. Tapi siapa?
Sesungguhnya
aku tidak berani mengorek lebih dalam lagi. Memang masih ada getar aneh yang
membuat kudukku meremang, seperti saat aku melihat Jennifer Lawrence berakting
atau Adele bernyanyi. Hanya ada satu perasaan gelap sembunyi di situ, ketakutan
mengerikan yang tak mampu aku tanggungkan. Apa? Siapa? Mautkah jangan-jangan
itu?
Aku tak berani spekulasi lebih jauh. Saat makan siang tiba.
Aku membuka tas dan mengeluarkan kotak plastik dimana udapan yang kumasak
sendiri menjadi pengisi lunch time-ku. Di
meja general manager ini. Sendiri.
Radhar
Panca Dahana, terpilih sebagai Tokoh Budaya dari Badan Bahasa, Kemendikbud RI
serta dianugerahi harian Kompas, Cendekiawan
Berdedikasi. Buku-bukunya, Teater dalam Tiga Dunia (2013,
Jakarta: Kemendikbud), dan Manusia Istana (2015,
Yogya: Bentang Pustaka), dan Kebudayaan dalam Politik:
Kritik pada Demokrasi (2015, Jakarta: Penerbit Mizan).
0 Response to "Saat Maut Batal Menjemput"
Posting Komentar