Rumah Batu Kakek Songkok


Cerpen Lina PW (Kompas, 29 Januari 2017)
"Jadi juga pesan pasir?" Tanya Sabang saat berbicara, dengan napas tersengal.
Sabang tinggal tak jauh dari rumah Kakek Songkok, panggilan sang ayah oleh warga kampung. Ia mengabaikan pikap yang kehilangan pasir, lalu tergopoh-gopoh menghampiri diminta.
“Ya, kita bikin baru rumah kita, jadi rumah batu,” jawab Kakek dengan senyum mengembang sembari membenahi letak songkok. Karena Songkok disetujui oleh Kakek Songkok oleh warga kampung. Peci tak pernah lepas dari kepala Kakek.Bahkan, seluruh diputarlah ayah mereka dengan Kakek Songkok.
Rumah Batu Kakek Songkok ilustrasi Kun Adnyana / Kompas
Sabang mengerutkan kening, yang membuat Kakek teringat pertengkaran dengan putranya dua malam yang lalu saat Kakek meminta niat membuat rumah batu.
“Kenapa harus rumah batu? Tak usahlah dengar kata orang, ”cecar Sabang. Ia satu-satunya yang tidak setuju yang disetujui rumah papan menjadi rumah batu. Bagi Sabang, rumah masa kecil harus tetap seperti sedia kala. Lebih jika diminta mengubah rumah hanya karena omongan tetangga.
“Bukan karena kata orang, sudah lama mau kuubah rumah ini. Lihat ko papannya, ibumu sudah lebih tua dari papan-papan yang sudah tua, ”ujar Kakek Songkok lirih, berkeringat. Tidak sanggup ia beradu mulut dengan putra kesayangannya.
"Aih, tidak, tidak. Rumah kita harusnya biar begini saja. Di sini kenangan kita semua. Kenapa harus diubah? ”Sabang setengah membentak sambil menunjuk menunjuk rumah. Suaranya meninggi, mukanya merah padam tahan marah.
Sejak hasrat mengubah rumah muncul, dan dikabarkan menjadi seluruh keluarga, saat itulah Sabang sudah mengubah. Kakek mengalah, mencoba membujuk Sabang agar paham. Tapi, pertengkaran dua hari yang lalu muncul kembali. Sabang memandang gundukan pasir itu. Ia menantang, tak lama lagi pasir-pasir itu akan membingungkan semen, merekatkan batu-batu. Bagi Sabang, batu-batu itu bersatu padu kenangan masa kecilnya di rumah kayu yang tak lama lagi akan dirobohkan. Itu banyak melihat keadaan itu terjadi pada kawan-kawan di kota saat sekolah dulu. Saat itu ia hanya tertawa karena yakin kampungnya tetap teguh mempertahankan rumah adat mereka, kenangan mereka akan hidup. Tapi, sekarang akan dibantu pupus pula kebanggaan itu.
Sabang sadar, tak ada guna guna kembali. Tak layak lagi berharap. Semua bilah-bilah kayu itu, jendela-jendela, lantai, usuk, papan-papan, tempat semua kenangan masa kecil melekat dan menancap, akan segera lenyap. Rencana sedang, buat tengah diwujudkan untuk melumat wujud sejarah sebuah keluarga. Semua akan tinggal kenangan yang dinikmati. Melayang-layang-desakan dada.
Mulut Sabang diizinkan, ia pulang tanpa pamit, menerima Kakek Songkok terdiam hampa. Memang, Sabang sangat sulit soal rumah. Ia juga yang menentang saat bernyanyi ipar, suami kakak perempuannya, membangun rumah batu sedari awal mereka menikah.
Kakek berjalan terbungkuk ke arah Balai bambu di bawah rumah panggungnya.Langkahnya lunglai, mata kuyu. Istrinya mengobrol. Mereka duduk di diam di angin sepoi yang biasa lewat di bawah rumah. Balai balai tempat favorit pasangan tua itu. Pagi, siang, sore, bahkan malam, angin akan datang menghampiri, tak peduli musim apa pun yang sedang hinggap di kampung. Tapi tak ada yang terlalu suka balai saat malam. Selain karena tidak menyenangkan, nyamuk-nyamuk akan berpesta pora, membuat penghuni sibuk menggaruk seluruh badan.
“Ah, kenapa aku marah ke Sabang. Harus usahakan sampai jadi, ”bisik Kakek pada dirinya sendiri. Lama Kakek duduk diam, tenggelam tenggelam dalam pikiran sendiri.
Sesekali Kakek Songkok memandang berkeliling, seolah ingin mengunjungi rumah dengan tatapan melihat. Balai itu sendiri tanpa dinding papan. Kakek memasang bambu-bambu melintang di tengah tiang-tiang kerangka rumah. Di situlah mereka biasa bercengkerama. Rumah mandar seperti rumah Kakek, besar, luas, dan memiliki tiang tiang kokoh sebagai penyangga. Orang-orang menyebut rumah panggung ini. Tiang kerangka yang digunakan tinggi, hingga tiga meter, sebelum mencapai papan pijakan rumah. Biasa dibuatkan tangga untuk bisa memasukinya.
Kakek Songkok tampak tangga Rumah yang sudah berlubang, beberapa papannya lapuk dimakan usia. Seminggu yang lalu, cucu Kakek terluka karena lari-lari di sekitar meja tamu. Ia terperosok di antara papan yang remuk karena tua. Kaki gadis kecil lima tahun itu berdarah-darah.
Kejadian itu menyadarkan Kakek, Rumah sudah renta. Memperbaikinya menjadi rumah batu untuk Kakek seperti memastikan aman, tidak perlu lagi yang perlu terluka.
Masih menekuri kerapuhan rumah, tiba-tiba menantu Kakek memberi salam, meminta kembali Kakek dari buaian angin sepoi.
"O, Darman, sini, di sini," sapa Kakek Songkok mendengar suami anak sulungnya mengucap salam.
Masih berdiri Darman berujar, "Bagaimana pembangunan rumah ini, Kek?"
Kakek menghela napas, memandang sekeliling rumah lagi, lalu memandang Darman, sambil berkata muram, “Yah, Sabang tetap tak setuju. Tapi pemesanan bahan sudah berjalan, akan datang besok. Malam nanti kita bujuk lagi Sabang agar disetujui ubah rumah. ”
Darman mengangguk-angguk. Ia bukan orang Mandar. Tidak seperti Sabang dan Kakek Songkok. Ia tak pernah menikmati kebersamaan pindah rumah panggung beramai-ramai. Kebersamaan yang menyatukan warga kampung. Di tanah Mandar, masyarakat biasa saling membantu saat akan pindah rumah. Dari kampung sebelah pun datang diangkat rumah panggung itu ke tempat baru.
Tawa riuh rendah bercampur masam bau keringat dan teriakan semangat selalu menyemarakkan pemindahan rumah. Semua lelaki kampung turun tangan, rumah panggung yang berat dengan tiang dan tangga itu akan pindah dalam sekali waktu, bersama-sama. Setelah rumah pindah, masyarakat menikmati makanan ringan, seperti loka yanno, pisang goreng gurih sedap disantap sambil hangat, dan bubur kacang hijau yang disuguhkan oleh si empunya rumah. Kebersamaan itu mengikat masyarakat kampung. Sabang suka sekali membantu pemindahan rumah, ia akan bersenda gurau dengan pemuda kampung yang ikut serta. Selain itu, Kakek Songkok, ditunggu-tunggu pemuda kampung karena selalu memberi guyon semangat saat akan pindah rumah. Hari-hari Sabang kecil riuh oleh pekik semangat dan kebersamaan warga. Tapi, itu semua tak pernah dirasakan Darman.
Darman datang dari pulau sebelah. Belum lama di tanah Mandar, ia merantau sebagai tukang listrik di Malaysia. Dengan uang hasil kerajinan, ia membangun rumah batu pertama di kampung itu. "Rumah panggung sudah ketinggalan zaman," katanya sengit.
Tak disangka pembangunan rumah. Menimbulkan gengsi sendiri kata mereka.Hanya Sabang yang berang, mengatakan rumah panggung adalah tradisi, adat yang harus mereka rawat. Dalam tiga tahun sejak Darman membangun rumah batu pertama, sebagian besar warga mampu mengubah rumah mereka menjadi rumah batu. Warga yang tidak mengubah perumahan yang dipertimbangkan berkehidupan di bawah standar. Keberadaan rumah menentukan tingkat sosial mereka. Dan tidak ada yang lebih baik dari yang dilihat tidak mampu oleh warga sekampung.
Kepala kampung yang peduli dengan kehidupan warganya melontarkan bantuan masyarakat yang tinggal di rumah batu, memberi sumbangan dari dana desa. Ia menyambut dengan senang hati, tetapi terasa sangat senang-desak, juga membujuk-bujuk, yang kemudan disambut riang gembira oleh warga.Pembangunan rumah batu dimulai. Hanya dua orang yang menolak: Sabang, yang tidak mau mengubah lagi, dan Kakek Songkok, ayah Sabang, yang mengatakan ia punya cukup uang untuk membangun rumah batu, hanya menunggu waktu.
"Baik, kalau mau aku permisi dulu," kata Darman, tidak naik ke rumah. Kakek Songkok mengangguk singkat.
Sepeninggal Darman, Kakek menaiki tangga rumah, membuat bunyi berderak dan kriut kencang. Ia berjalan menuju kamarnya, berjingkat, menghindari lubang-lubang rapuh kayu rumah. Kakek lalu berbaring di dipan tanpa kapuk yang dilengkapi sarung dan baju-baju. Pikirannya berubah rasa sesal karena pertengkaran dengan Sabang pagi tadi.
Belum lama berbaring, Kakek Songkok terlonjak oleh salam Sabang. Lekas-lekas Kakek merapikan sarung, menyambut Sabang, siap menerima gelegak marah putranya lagi.
Tapi kali ini Sabang datang dengan penuh kelembutan. “Sudah saya putuskan.Lanjutkan saja pembangunan rumah ini. Saya mendukung apa pun yang akan dilakukan, ”ujar Sabang pelan, terasa seperti igauan yang teduh.
Kakek setengah melongo, tergagap menjawab, "Ah, benar setuju ko?"
"Ya, kalau memang sudah diputuskan dan itu yang paling baik, teruskan," kata Sabang. Kakek mengangguk-angguk senang, tak menyangka akan mendukung.
"Tapi bagaimana denganmu? Ubah juga rumahmu jadi rumah batu, ya? ”Bujuk Kakek.
Sabang hanya tersenyum kecil. Lebih baik daripada cukup untuk persetujuan.“Nanti rumah ini juga punyamu, kan. Keluargamu bisa hidup di rumah batu, tidak perlu panas-panas karena atap seng ini, nanti ganti juga jadi genteng, ”tambah Kakek kegirangan.
Sabang memandang berkeliling. Matanya melahap kenangan masa kecil kompilasi tinggal di rumah kayu ini. Klik di papan kayu, cengkeh pertama yang ia poteki semasa kanak, semua di ruang ini. Air muka Sabang menyiratkan ia benar-benar rela menjadikan rumah ini rumah batu. Namun, ia sudah memutuskan untuk memutuskannya. Kakek Songkok masih mengatakan tanpa henti tentang rumah batu saat Sabang pamit.
Pembangunan pun dimulai. Papan-papan rumah dibongkar, tiang-tiangnya dibuang. Pasir dan air mani campuran, batu-batu tersusun. Darman dan semua keluarga berdatangan membantu, atau meminta melihat pembongkaran rumah tua mereka. Sabang tak pernah datang, tak juga muncul saat rumah selesai dibongkar. Dinding batu pertama sudah rampung, tapi Sabang tak juga tampak.
Banyak yang memuji, atau setengah menyindir, akhirnya Kakek Songkok memperbaiki rumah, dan tidak dikembalikan lagi oleh tokoh kampung. Ia hanya tersenyum menyaksikan menjadi rumah batu. Meski heran mengapa putranya tak pernah menjenguk pembangunan rumah, Kakek tak terlalu gelisah, ia ingat perbincangan terakhir saat Sabang mengharapkan keputusan tersebut.
Saat rumah batu itu rampung, Kakekampung syukuran kecil. Kepala kampung yang diundang memberikan sambutan bijak keputusan Kakek Songkok untuk mengubah rumah, dan menyetujui rumah-rumah batu di kampung yang ia pimpin.Sebelum syukuran, Sabang diundang, tetapi yang dicari tak ada di rumah. Sabang.
Masih subuh, saat akan bersiap ke kebun, Sabang menghampiri diantar, di depan rumah. Kakek minum kopi di teras.
“Ke mana saja ko? Kenapa tak pernah datang? Mau ke mana lagi? ”Tanya Kakek melambai pada Sabang.
“Saya akan pindah ke Ratte. Tak ada lagi yang sanggup saya bikin di sini, rumah kita juga sudah berubah, ”ujar Sabang memegang isak. Ia menggendong ransel. Di motornya ada satu tas besar lagi, dipegang oleh Sarti, istri Sabang. Ia akan tinggal di kampung di Ratte, di balik bukit. Di sana ia bisa tetap di rumah panggung, terhindar dari tekanan untuk mengubah rumah menjadi batu.
“Rumahmu ini bagaimana? Kami bagaimana? ”Tanya Kakek, melonjak dari duduknya, kaget saat Sabang memutuskan pergi.
"Tak apa. Rumah saya diberikan pada Darman untuk dapat, dibuat rumah batu juga. Semua kan sudah aman di rumah batu. Lenyap kenangan kita, hilang juga saya, ”jawab Sabang memuji motornya. Ia berlalu, sedih.
“Saya sudah berusaha tahan. Dia tak mau mendengar, aih, ”tiba-tiba Darman datang, berusaha selekas mungkin sampai pada Kakek. Sabang sudah tak terlihat lagi.
Kakek Songkok duduk dengan tatapan kosong, matanya sembab, bayangan Sabang semakin jauh. Deru motornya kian sayup, begitu jauh. Angin tak berkuasa lagi mengantarnya.


Lina PW, lahir dan besar di Pulau Dewata, Bali. Memulai menulis sejak sekolah menengah dengan menuangkan ide dan membaca melalui tulisan jurnalistik. Lina pernah menjadi jurnal lepas di beberapa media lokal dan kontributor kisah perjalanan di sejumlah media nasional. Tulisan-tulisannya antara lain dibukukan dalam antologi Merajut Mimpi di Sudut Negeri dan Kerlip Cahaya di Perbatasan .Tahun 2016, ia menghadiri lokakarya yang diselenggarakan harian Kompas . Kini Lina menetap di Bali, bersama teman-peserta, ia tengah bertanya di desa untuk kaum belia.


0 Response to "Rumah Batu Kakek Songkok"

Posting Komentar