Cerpen Putu Oka
Sukanta (Kompas, 09 April 2017)
Frankfurt
Oktober, diramaikan dedaunan yang bagaikan pemain sandiwara sibuk berganti
pakaian warna-warni yang berubah-ubah. Angin bergurau dengan helai rambut yang
tak tertutup topi, berjuntai di tepi telinga ketika aku berjalan cepat menuju
rumah.
Semalam,
sebelum tidur, aku sempat menyingkapkan kain tirai jendela untuk melihat apa
yang sedang terjadi di luar. Cahaya lampu jalanan dan angin menderu menampilkan
bayang-bayang menari bergoyang, tarian pepohonan yang dipadu suara nyanyian
alam masih bisa kudengar sayup-sayup menembus celah daun jendela. Sore hari aku
masih melihat seluruh pohonan bergaun hijau, tetapi sekarang sebagian sudah
berbaju kekuningan. Sebagai anak petani yang datang dari negeri dipanggang
matahari, aku tertegun dalam kenikmatan. Apalagi beberapa puluh tahun yang
lalu, ketika pertama kali menengadahkan telapak tangan menampung butir-butir
salju beterbangan dari langit kelabu.
Mbak
Ntin sudah keluar dari selimutnya, tempat tidurnya sudah rapi. Tapi aku tidak
melihat orangnya. Kami tidur di ruang tamu, ada dua sofa yang dibuka lipatannya
menjadi tempat tidur. Ruang tamu ini ruang serbaguna, kalau diperlukan, meja
besar yang ada menjadi meja makan, terutama kalau banyak orang yang akan ikut
melahap masakan yang tersedia. Masakan beraneka ragam dibawa oleh orang yang
datang, bersama membuka pesta masa lalu. Di meja makan itulah Suharto
dihidupkan kembali kemudian dibunuh beramai-ramai. Tapi tidak lama kemudian,
Suharto hidup kembali membumbui hikayat hidup orang-orang yang terhalang
pulang. Suharto hebat, tidak pernah mati dalam perjalanan kaum kelayapan,
terutama sekali kalau ada anak negeri khatulistiwa mampir untuk memetik harapan
yang menggelayut dari langit-langit kiprahnya.
“Pak
Gung, sarapan sudah siap.” Terdengar suara Mbak Ntin di ruangan yang lain.
“Masih
tidur apa?”
“Sudah
buka mata, buka telinga, dan buka mimpi Mbak. Sarapan apa?”
“Yang
semalam saja belum habis.”
“Lha,
yang semalam? Semalam, kan, kebab turki habis sampai ke bungkus-bungkusnya.”
Terdengar
suara tertawa renyah ringan, tidak hanya suara Mbak Ntin. Ada suara Go Koan dan
Mercy.
“Riwayat
Jauhari, kan, belum tamat?” suara Go Koan menimpalinya.
Rumah ini sudah dihuni oleh pasangan suami istri, Go Koan
dan Mercy, sejak lima puluh tahunan yang lalu. Selalu menjadi rumah singgah,
atau penampungan sahabatnya yang berkunjung ke Frankfurt dengan berbagai
kesibukan. Tertawa renyah itu menandakan semua penghuni sudah kumpul di dapur,
menyantap roti dan sisa kueh semalam, sambil nyeruput minuman
yang diadon sendiri-sendiri.
“Kebabnya
habis, masa lampaunya yang belum.” Suara Mbak Ntin disambut oleh yang lainnya.
Aku
langsung bangun, dan sesudah membasuh muka nimbrung dengan mereka. “Masa lalu
itu selalu enak, seperti nasi kemarin yang dijadikan nasi goreng.” Sahut Mercy
yang berasal dari Polandia.
Mbak
Ntin yang warga sebuah kota di Jerman, kukenal sejak sepuluh tahunan di
Jakarta, tidak pernah aku ketahui seluk-beluk hidupnya. Biasa aku memanggilnya
Mbak Ntin, tetapi di beberapa kota ia dikenal dengan panggilan Mbak Nunik.
Bahkan, yang mengherankan, aku pernah mendengar ia dipanggil dengan nama Ling
Ling. Ketika aku tanya siapa nama sebenarnya, dengan enteng ia menjawab,
“Ternyata nama tidak mampu mengubah manusianya.” Diteruskan dengan tertawanya
terpingkal-pingkal, menertawakan dirinya sendiri. “Intel punya beragam foto
saya, dari samping kiri, kanan, atas, dan mungkin telapak kaki saya juga.”
“Sebegitunya
Mbak.”
“Orang
sering tidak percaya. Di sini lebih seru Pak Gung. Di tanah air, intelnya, kan,
jelas orangnya. Di sini, ya Allah, ampun.”
Cerita
dari teman lain mengatakan kalau seseorang punya nama Tionghoa berarti ia
pernah di Tiongkok, entah bersekolah di sana, atau datang ke Tiongkok sesudah
peristiwa. Kata peristiwa cuma punya satu tafsir, yaitu gerakan yang terjadi
pada tanggal satu Oktober subuh yang berpusat di Desa Lubang Buaya, pada tahun
1965. Letupan peristiwa itu ternyata lebih hebat jika dibandingkan dengan bom
atom yang melantakkan Hiroshima, manusia dan kemanusiaan, serta menumbuhkan
dampak keretakan bangunan kejiwaan di seantero dunia. Mbak Ntin, atau Ling
Ling, masih takut diketahui siapa ayahnya yang entah di mana keberadaan
jenazahnya. Ia memutus urat nadi keturunannya, dan masih dihantui mata-mata,
walaupun sejak umur belasan tahun sudah meninggalkan kampung halaman pergi
menuntut ilmu di benua seberang. Kesarjanaannya dia kempit di ketiak untuk
tidak diketahui orang, dan memulai hidupnya menjadi penjaga toko.
“Sakit hati, nelongso, dan takut
Pak Gung,” suatu pagi di meja makan ia berucap. Waktu itu kami sedang menginap
di sebuah rumah sahabat di Koln, seorang wartawan-penyair yang tidak berani
menulis selama masih bekerja. Sesudah pensiun dari pekerjaan sebagai tata usaha
di sebuah pabrik, ia terseok-seok melanjutkan kemampuan kesastraannya, dan
beruntung bisa menjadi orang yang tidak ketinggalan zaman. Dalam sehari mungkin
hampir lebih dari sepuluh kali menunjukkan sertifikat tanda jasa dari instansi
tempatnya bekerja. Maaf, seperti orang mulai bego. Dari sorot matanya memancar
api dendam dan nyala gereget yang tak terpadamkan oleh guyuran salju dan
lembar-lembar euro jaminan hidupnya. Kami selalu mengadon masa lalu dengan
masakan jawa timuran yang dihidangkan oleh istrinya dalam sarapan, makan siang
dan makan malam. Boleh jadi masakan itu menghidupkan mereka seperti berada di
desanya di Kerian. Di meja makan masa lalu tidak pernah habis dikunyah dan
dicerna. Di meja makan, masa lalu disantap untuk menerima dan memelihara
kekinian.
“Mas, apa sampeyan bangga
menjadi wong Jerman?” Terpancar kekosongan yang gemuruh dari bola matanya. Aku takut
memandangnya dan merasa bersalah mempertanyakan nya.
“Aku
sekarang sedang menabung untuk membeli liang kubur kalau kami mati.” Suaranya
lirih. Terkesan jalan pulang ke kampung sudah ditutup mati dan dihapus dari
peta kehidupannya.
*
Aku
adalah penjelajah ke sudut-sudut dunia
langkah
diayun mimpi yang tidak pernah ketemu siang
aroma
tanah sawah menempel di saluran pernapasan
sekalipun
deru angin musim gugur mengiris daun telinga
masa
lalu terus disantap di meja makan.
*
Mbak
Ntin selalu menjadi pemandu aku berkeliling di beberapa negara dan kota di
Eropa. Ke mana pun pergi, selalu ketemu dengan masa lalu yang menjadi pelengkap
makanan, senda gurau, mimpi getir dan rasa kangen yang menyakitkan. Pada
kunjungan pertamaku di Frankfurt, di tahun 1989, aku ketemu dengan bekas guruku
di SMA di kota kelahiran. Kami seolah membentangkan peta lama yang mulai sobek
dan buram, karena sudah lama tidak hidup lagi di dalam ingatan. Ia menceritakan
kehebatan prestasinya di universitas tempat ia dikirim bersekolah oleh Sukarno.
Tapi itu tidak berarti apa-apa sesudah pindah ke Jerman Barat, prestasinya
kehilangan nilai bersamaan dengan kejatuhan Sukarno. Ia menjadi sopir taksi,
kemudian penjaga restoran, dan pada waktu kami berjumpa dia sedang kehilangan
mata pencarian. Aku merasa bersalah besar, menganggap teman-teman yang
kelayapan terhalang pulang itu, beban hidupnya jauh lebih ringan, tidak bisa
dibandingkan dengan orang yang tertuduh di Tanah Air. Teman-teman itu, pikirku,
tidak perlu bingung dengan segala macam masalah papan, sandang, pangan, karena
mendapat bantuan negara tempatnya berlindung. Terutama sekali, keamanan
terjamin, tidak perlu menghadapi Babinsa, lurah, intel yang bagaikan ulat bulu
selain membuat gatal juga menyebarkan virus kebencian.
“Pak
Ngurah, mau titip apa untuk keluarga? Mungkin saya bisa bawa.” Pertanyaan saya
membuat ia tercenung. Lama saya menunggu jawabannya. Ia terdiam. Tapi pada
akhirnya ia bicara, “Tolong, anggap tidak pernah ketemu saya.”
Frankfurt
pada bulan Oktober, entah tahun berapa saja selalu menghadirkan pepohonan yang
bagaikan pemain sandiwara sibuk berganti-ganti pakaian. Hari ini aku tidak
melihat lagi pepohonan bermantel hijau, sudah berganti dengan warna kuning,
bahkan beberapa jenis pohon sudah berdaun kemerahan. Dedaunan itu akan segera
gugur, menelanjangi pepohonan yang akan menjelma menjadi tulang-tulang tubuh
yang telanjang bulat. Itulah caranya bertahan hidup, untuk kemudian, beberapa
bulan kemudian akan mengundang umat bergembira riang menyambut kuntum bunga
beragam jenis dan warna. Sore nanti saya, tentu saja dipandu Mbak Ntin, akan
pindah ke Achen, sebuah kota di ujung tanduk pertemuan Belgia, Belanda, dan
Jerman.
Ketika
saya sedang berbenah, Mercy menghampiri saya. “Gung, sudah tahu cerita Pak
Ngurah?”
“Sayang
ya, dia tidak datang. Dia masih di Frankfurt?”
“Mungkin
semalam dia ikut di meja kita, walau kita tidak melihat fisiknya.”
“Haaa,
dia sudah meninggal?”
“Tragis.
Tak ada orang yang tahu dia meninggal. Bau mayatnya menyebabkan tetangganya
memanggil polisi dan mendobrak pintu masuk. Mungkin sudah tiga hari sebelumnya
ia meninggal.” *
(Salam
buat Mbak Ning, Hok An, dan Helgard)
Putu
Oka Sukanta, 78 tahun. Menerima Award dari Hellman/Hammett Human Rights Watch
New York 2012 dan Award Human Rights Education Herb-Feith Foundation Australia
2016 atas karya sastra dan kegiatannya di bidang hak asasi manusia. Beberapa
novel, kumpulan cerpen, dan kumpulan puisinya sudah terbit dalam bahasa
Indonesia, Jerman, Inggris, dan Perancis.
0 Response to "Masa Lalu di Meja Makan"
Posting Komentar