Cerpen Indra
Tranggono (Kompas, 16 April 2017)
Sumur Gumuling ilustrasi I Made
Supena/Kompas
Di
Sumur Gumuling itu, jarum arloji tak lagi menyimpan kecemasan didera waktu. Di
sini, waktu telah istirah, rebah dalam pelukan sunyi yang perkasa.
Namun,
gemuruh perasaan tetap saja memenuhi rongga dada laki-laki itu. Perasaan gamang
yang menerbitkan rasa bimbang mengiringinya memasuki lapisan-lapisan labirin
hingga ia sampai di Sumur Gumuling. Penampang sumur yang menyerupai lubang kue
donat itu menyergapnya. Juga retak-retak bangunan tembok yang mengabarkan bangunan
itu telah berusia ratusan tahun.
Mata
laki-laki itu menyapu ruang sekitar. Bulu kuduknya kontan meremang tapi dia
tetap bertahan. “Di Sumur Gumuling, kamu bisa bertemu dengan Pangeran
Jonggring. Bertanyalah soal nasibmu dan keselamatanmu.” Begitu guru spiritual
laki-laki itu berpesan.
Meskipun
disebut Sumur Gumuling, situs ini sangat jauh dari bayangan orang tentang sumur
pada umumnya. Tak ada air di sana. Apalagi kerek dan tali timba serta ember.
Yang bisa ditemui hanyalah lubang dengan ukuran sekitar 10 meter, dengan
kedalaman sekitar 50 meter. Di sekitarnya terdapat lima tangga terbuat dari
susunan batu bata. Tangga itu menyatu dengan tembok tinggi yang mengepung. Tak
ada atap. Orang pun bisa menatap bulan dan bintang-bintang, saat langit terang.
Banyak orang percaya, dulu di Sumur Gumuling raja-raja Mataram sering semedi
untuk mendapatkan pencerahan berupa wisik, bisikan gaib atau ilham.
Malam
telah matang ketika laki-laki itu telah sampai di dasar Sumur Gumuling. Dia pun
termangu. Beberapa kali dia menghela napas agar jantungnya kembali normal
berdegup. Sekaligus juga untuk memompa nyalinya. Lama dia menunggu munculnya
Pangeran Jonggring. Dia telah menyiapkan segepok pertanyaan. Namun, yang
ditemui hanyalah kesunyian. Gelisah pun mulai berkecambah. Pulang adalah
pilihan terbaik, begitu dia membatin.
Ketika
dia hendak balik arah, mendadak muncul seorang berwajah dan berpostur tubuh
sama persis dengan dirinya. Laki-laki itu terpana mengamati sosok laki-laki
asing yang kini berdiri hanya berjarak satu meter dari dirinya. Rambutnya ikal,
persis dengan rambutnya. Wajahnya oval, sama dengan wajahnya. Tubuh dan
gerakannya pun tak bisa dibedakan dengan dirinya. Bedanya, laki-laki yang
dijumpainya itu mengenakan baju dan sarung serba putih, sedangkan ia mengenakan
baju coklat muda dan celana hitam.
“Maaf, apakah kisanak ini
Pangeran Jonggring?” Laki-laki itu masih bisa menangkap wajah orang asing dalam
temaram sinar lampu minyak yang menempel di dinding. Abdi dalem keraton selalu
menyalakan lampu itu, setiap hari.
“Bukan.
Aku adalah dirimu. Namaku Abinaya.” Sosok asing itu mengulurkan tangannya,
menjabat tangan laki-laki itu.
Kontan
laki-laki itu kaget. Nama itu sama dengan nama dirinya.
“Namamu
juga Abinaya? Benar, nama kita memang sama.” Sosok misterius itu seperti bisa
membaca pikiran dan perasaan laki-laki itu.
Laki-laki
itu disergap rasa heran tapi juga kagum. “Tapi namaku Abinaya Agrapana…” Laki-laki
itu mencoba mengelak.
“Sama.
Namaku juga Abinaya Agrapana,” ujar sosok asing itu.
“Bagaimana
mungkin bisa sama?”
“Segala
kemungkinan bisa saja terjadi.”
“Tapi
kenapa wajahmu tampak sedikit lebih tua dariku?”
“Akulah
masa depanmu.” Sosok asing itu tersenyum.
Laki-laki
itu terdiam. Tampak berpikir. Rasa heran semakin berkecambah di benaknya. Masa
depan?
“Benar.
Akulah dirimu saat kamu nanti berusia 75 tahun. Tentu, jika kamu masih diberi
hidup.”
Laki-laki
itu kembali terdiam. Pikirannya sibuk menghitung usianya sekarang, yang
menginjak 51 tahun. Kembali ditatapnya sosok asing itu. “Ternyata aku tidak
tampak renta dalam usia 75 tahun nanti,” dia membatin.
Kebahagiaannya
pun berbuncah saat mengetahui bahwa pada usia 75 tahun nanti dirinya masih
tampak gagah, dengan aura wajah yang bercahaya, tidak seperti kondisinya
sekarang yang keruh dan gelap. Gumpalan perasaan yang semula menekan rongga
dadanya pun mencair.
“Kenapa kisanak menjumpaiku?
Apakah kisanak ini utusan Pangeran Jonggring? Jika benar,
bolehkan aku menyampaikan beberapa pertanyaan?”
Sosok
lelaki itu tersenyum. “Siapa Pangeran Jonggring? Di sini tak ada siapa-siapa,
kecuali kesunyian. Dan kenapa kamu heran dengan pertemuan kita? Sejak ada dalam
kandungan ibu kita, aku sudah hidup dalam darahmu, dalam detak jantungmu….”
“Kenapa
selama ini kita tidak saling mengenal?”
“Karena
kamu telah jadi orang asing bagi dirimu sendiri. Bahkan, kamu tak pernah
mendengar semua ucapanku yang kukirim melalui gelembung-gelembung darahmu. Juga
saat kamu terjerat perkara gawat ini.”
Laki-laki itu tersengat. Darahnya berdesir. Wajahnya tampak
tegang. “Kisanak tahu perkaraku?”
“Aku
tahu sejak pikiranmu bekerja, menyusun taktik untuk mengambil uang proyek
bantuan pendidikan anak-anak yatim dan orang-orang miskin dari kas negara….”
Laki-laki
itu kembali tersengat. Jantungnya berdetak keras. Dadanya terasa sesak.
“Waktu
itu, aku sudah bilang, jangan ambil hak orang lain. Apalagi hak anak yatim dan
orang miskin. Tuhan pasti marah.”
Dada
laki-laki bertambah sesak. Keringat dingin mengalir deras dari jutaan
pori-porinya.
“Tapi
kamu nekat. Kamu bersengkongkol dengan wadya balamu di departemenmu dan
orang-orang parlemen. Kalian ramai-ramai mengarang proyek. Menyutradarai banyak
orang untuk meyakinkan bahwa proyek itu nyata. Dana pun mengucur yang kalian
tampung dalam baskom kerakusan. Kalian minum darah anak-anak yatim dan orang
miskin. Tanpa malu….”
“Maaf,
saat itu aku khilaf.”
“Khilaf
kok rutin!”
“Maaf,
waktu itu ada setan lewat, masuk dalam otakku….”
“He.
Jangan mencatut nama setan! Bisa marah dia. Setan itu sama sekali tidak
terlibat dalam perkara ini.”
“Maksudku
bukan setan, tapi iblis….”
“Iblis
apalagi. Dia sudah lama pensiun. Dia sudah putus asa jadi penggoda manusia,
karena ternyata manusia jauh lebih cerdik, culas, licik daripada iblis. Cepat
minta maaflah pada iblis, sebelum dia meremas jantungmu.”
Kepala
laki-laki itu merasa dihantam palu besar. Pusing yang membadai membuat ia
hampir jatuh. Beruntung, tangannya bisa meraih tembok.
“Berapa
triliun uang yang telah kamu curi?”
“Saya
tidak sempat menghitung….”
“Kenapa
kamu datang ke Sumur Gumuling? Mau tobat? Minta ampun pada Tuhan?”
Laki-laki
itu terdiam. Sunyi menguasai ruang. Hawa mendadak berubah sangat dingin.
Mendadak terdengar suara gemuruh, seperti tembok runtuh. Laki-laki itu
pontang-panting menyelamatkan diri. Beberapa saat kemudian suara gemuruh
berubah auman suara binatang.
Dari
balik kegelapan, muncul binatang menyerupai macan. Hitam. Matanya bercahaya.
Binatang itu menerjang laki-laki itu hingga terjerembap di lantai. Kuku-kukunya
yang tajam mencakar-cakar hingga tubuh laki-laki itu bermandi darah. Binatang
itu hendak merobek leher laki-laki itu, tapi dicegah sosok asing. Binatang itu
pun menyelinap dalam gelap.
“Kenapa
takut? Binatang itu tadi adalah dirimu sendiri!”
“Kenapa
dia malah menyerangku?”
“Binatang
itu adalah kerakusanmu. Dia kelaparan. Dia ingin memakan tubuhmu. Jiwamu….”
Jiwa
laki-laki itu tergedor. Menggigil.
“Apakah
semua ini pengadilan bagiku?”
“Ooo
ini baru sebagian. Bahkan sebagian sangat keciiil.”
Laki-laki
itu gemetar. “Kenapa kamu lari dari pengadilan? Berapa duit yang kamu berikan
kepada mereka yang memasukkan perkaramu ke dalam peti es? Berapa?” mata sosok
asing itu menyala, “Perkaramu tidak bisa dibekukan karena di dalamnya ada api
kemarahan anak-anak yatim dan orangorang miskin. Api itu berkobar. Membakar
hingga melelehkan peti es perkara yang kalian sangka kuat.”
Laki-laki
itu menunduk. Jiwanya terasa pedih disayat-sayat kalimat sosok asing itu. Dia
mencoba menggerakkan tubuhnya. Terasa sangat ngilu. Perih. Panas. Dirasakan ada
ribuan kalajengking yang merayap dalam tubuhnya. Mereka berdesak-desakan,
saling menindih bagai cendol. Kalajengking-kalajengking terus bergerak.
Menyebar. Menyegat dan menebarkan bisa. Racun itu diserap darah, menyebar ke
seluruh tubuh. Tubuh laki-laki itu membengkak. Melepuh. Menggelembung, seperti
balon raksasa.
Tiba-tiba
tubuh laki-laki itu meledak, tanpa suara. Serpihan-serpihan tubuh terserak di
lantai. Lalu terurai, menjadi kristal-kristal yang lenyap dalam udara.
***
Laki-laki
itu membuka mata. Selang infus menancap di nadi tangannya. Beberapa wajah yang
semula tampak kabur, kini semakin jelas. Ada wajah hakim, jaksa, polisi, kepala
departemen, pengusaha, orang-orang parlemen dan orang-orang politik. Laki-laki
itu berusaha keras mengingat, siapa saja yang kini membesuknya. Beberapa nama
dia ingat. Beberapa nama dia lupa.
“Kami
bersyukur, bapak Abinaya Agrapana tetap selamat. Tim SAR menemukan bapak dalam
keadaan pingsan di Sumur Gumuling. Tempat itu memang terkenal gawat….” Salah
seorang pembesuk menunjukkan selembar surat berisi pemberhentian penyidikan
perkara. “Tapi, sekarang bapak bisa tenang. Karena ada surat ini. Silakan baca,
Pak….”
Laki-laki
itu hanya bisa melihat huruf-huruf yang tampak berjatuhan dan kabur. Seorang
koleganya mencoba membacakan surat itu, lirih, tepat di telinga laki-laki itu.
Namun, yang dia dengar adalah raungan binatang hitam lalu disusul jeritan
anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Laki-laki itu meronta, menutupkan
selimut di wajahnya. Dia terus meronta. Mencoba berlindung di balik selimut
yang membungkus seluruh tubuhnya.
Orang-orang
panik. Seorang dokter langsung datang. Memberikan pertolongan. Siap dengan
suntikan penenang, dokter itu membuka selimut yang membungkus laki-laki itu.
Namun, yang mereka lihat bukan pasien bernama Abinaya Agrapana, tapi belatung
raksasa. Beberapa kejap kemudian, belatung itu tiba-tiba meledak. Mencipratkan
cairan bau anyir. Tubuh dokter dan para pembesuk basah kuyup. Seluruh ruangan
pun tergenang cairan busuk.
INDRA
TRANGGONO, penulis cerpen dan esais untuk soal-soal kebudayaan dan sosial,
tinggal di Yogyakarta. Dua buku cerpennya yang sudah terbit: Iblis Ngabekdan Sang Terdakwa serta
disusul Menebang Pohon Silsilah. Cerpennya telah masuk dalam
buku Cerpen Pilihan Kompas sebanyak 11 kali. Pada tahun 2015, ia menerima
penghargaan Kesetiaan Berkarya dari Harian Kompas.
0 Response to "Sumur Gumuling"
Posting Komentar