Di Bawah Bayang-bayang Gunung Sinai


Cerpen Wilson Nadeak ( Kompas , 02 April 2017)
Di Bawah Bayang-bayang Gunung Sinai menggambarkan Slamet Riadi /Kompas

Di bawah matahari terik pagi aku berdiri di kaki piramida Gizeh yang mengerucut ke arah langit setinggi 147 meter. Dengan celana jins dan jaket kulit untuk menggantung terpaan angin, aku memandang kubur kosong itu menjulang tinggi.Kaki piramida bagaikan permadani yang luas dan rata-rata tanpa pepohonan, mengantarkan pemandangan ke kota di bagian selatan. Para raja Cheops (Khufu) berusaha mengabadikan tubuh, raga yang berharga yang dibutuhkan di “seberang” sana. Kekayaan para raja itu ironisnya menjadi bahan kehidupan bagi orang yang hidup pada tahun kemudian. Para penjarah kubur menghabiskan masa lampau itu, menjualnya menjadi kenang-kenangan bagi pencinta benda konkret sejarah masa lalu di dalam rawatan museum segala bangsa.
Kubur itu telah kosong. Dalam kekosongan itu tertera kisah sukses, pada setiap batu yang bertindih, bagaikan keajaiban alam yang direkayasa. Orang-orang Ibrani yang diperbudak penguasa Firaun beratus-ratus tahun dibangun setuju untuk makam raja. Waktu yang empat abad berlalu Waktu yang singkat untuk membangun istana dan bangunan yang megah pada masa hidup penguasa itu, yang terus-menerus mengimpikan kejayaan dalam kematian yang abadi. Bersama kehidupan para penguasa yang berbarislah, kematian yang menjulang tinggi, terkapar di padang-padang pasir yang gersang saat mengungkit batu-batu raksasa tempat raja yang hidup dan mati bersinggasana.
Aku termenung melihat kota besar di bawah kaki piramida. Segumpal kenangan masa lalu membungkah dalam benakku, membawa aliran Sungai Nil yang membelah kota yang terus-menerus menghilangkan dahaga orang Mesir dari zaman ke zaman. Sungai yang menjadi air kehidupan bagi yang hidup dan mati, yang kuno dan modern berbaur di tepi sungai yang menorehkan kisah sepanjang zaman. Manusia bisa mati lalu digantikan generasi demi generasi, tetapi Sungai Nil tetap jernih di sana, yang dulu dipuja Firaun sebagai berkah dari dewa. Setelah Musa diapungkan dalam keranda yang teranyam kemudian dipungut putri Firaun, tanpa disadarinya, bayi Musa itu menjadi petaka bagi kerajaannya selama puluhan tahun kemudian. Bagi putri Firaun, Musa adalah karunia dewa Sungai Nil. Seorang bayi yang tampan. Hadiah dari sungai tempat ia menyucikan diri setiap pagi.Sekarang,
Sungai Nil adalah dewi kesuburan bagi Mesir sepanjang zaman. Para penguasa dapat memilih berganti tetapi mereka selalu berdamai dengan Sungai Nil. Orang-orang Ibrani paling bahagia kompilasi mereka menghuni daerah yang tidak jauh dari aliran sungai ini sehingga kambing mereka tidak kehabisan padang rumput yang hijau.
Entahkah jalan itu selesai Musa kompilasi selesai puluhan tahun, aku tidak tahu pasti. Para leluhur selalu memiliki kearifan, mungkin saja orang modern yang mengikuti jejak yang dirintis mereka melalui padang pasir atau melalui kilometer 101 yang terkenal di Perang Enam Hari antara orang Ibrani modern melawan Mesir dan koalisinya yang mencari tahu tentang pucuk senjata tanpa pelindung tembak gencatan senjata. Namun kini telah menjadi jalan beraspal dan pelbagai jenis kendaraan melintas di atas. Musa membawa berjuta manusia dan ternak mereka yang banyak meninggalkan tanah Mesir pada malam petaka dan perkabungan karena kematian anak sulung di seluruh Mesir, kecuali kawasan Gosyen yang dihuni oleh orang Ibrani yang eksodus menuju padang gurun.Pasukan tanpa senjata yang tidak habis-habisnya. Puluhan ribu orang tua, orang dewasa, anak-anak, berbaur dengan ternak: unta, kuda, domba, kambing, dan keledai. Berjuta tumbuh hidup dengan tenda-tenda mereka berbaris menuju Laut Merah. Sebuah rombongan pengungsi yang baru lepas dari perbudakan, menuju tanah kemerdekaan yang dijanjikan kepada mereka.
Bayang masa lampau sekilas berlalu dan aku melihat di sisi jalan, di tengah gurun gurun moncong meriam di atas tangki yang dikendarai serdadu yang dipasang di atas dengan seragam abu-abu dan tangki yang disaput debu. Ia menyandang senapan, yang kemudian memberlakukan kenangan dalam benakku, pasukan Firaun yang menguber orang Ibrani dengan kereta perang yang bergemuruh. Hari-hari berkabung sudah berlalu, kini dendam kesumat merasuk dada Firaun. Pastilah untuk melindungi kota dan istananya. Mereka membutuhkan tenaga. Ratusan pasukan yang berhasil dengan kereta perang, yang dikumpulkan dengan pasukan berkuda, peserta yang tidak berdaya.
Mendengar deru kereta di belakang mereka, orang Ibrani terbentur di laut.Kekalahan di baris belakang melepaskan ratap tangis anak-anak yang menentang.Kutuk serapah entah ditujukan untuk siapa saja yang berkobar. Keluh kesah, penyesalan, membuat segelintir orang ingin berontak kepada Musa seraya berteriak, "Apakah tidak ada kuburan di Mesir, jadi kita bawa mati ke gurun pasir ini?"
Rombongan dari belakang berdesak-desakan. Deru kereta berkuda semakin gemuruh. Teriakan-teriakan karena rumit di mana-mana. Tiba-tiba awan gelap bagaikan guntur bergema di belakang barisan yang kocar-kacir itu. Awan lembut menyelaraskan mereka jadi mereka reda dari rasa panik. Berjuta-juta makhluk hidup menapakkan kaki ke dasar laut yang tiba-tiba terbelah bagaikan dinding beton. Puluhan jam mereka berjalan di dasar laut kompilasi pasukan Firaun berputar-putar di tempat tidak mampu menerobos kabut awan yang hitam. Musa memukulkan tongkatnya ke atas air saat pasukan Firaun menerobos awan yang lenyap seketika. Pasukan itu menderu ke dasar laut yang masih kering dengan gagah perkasa. Ribuan prajurit tangguh menerobos ke tengah dasar yang kering kompilasi Musa memukulkan tongkatnya ke atas udara dari seberang.
Ringkik kuda yang mengejutkan diterjang arus laut meninggi. Barisan belakang berusaha Balik Arah, tetapi dari pantai air menderu ke tengah dan pasukan itu tenggelam ke dasar laut. Orang-orang Ibrani melihat tubuh yang mengapung di atas air.
Bus sebentar-sebentar berhenti. Pemeriksaan penumpang. Prajurit berseragam percakapan setiap bus dan penumpang pada jarak-jarak tertentu. Pos-pos pemeriksaan pada jarak tertentu membuat perjalanan agak lambat. Lewat tengah hari, bus berhenti di kota Sharm el-Sheikh yang indah Alun-alun kota yang rata-rata ditumbuhi bunga yang mekar di sana sini dengan aneka warna. Luar biasa kota indah ini dengan lautnya yang tenang. Kapal-kapal pesiar dan kapal dagang tampak di tengah laut. Vila di atas bukit berdiri tegak dengan keindahan bangunannya. Restoran dan toko yang sarat dengan pelbagai jenis pakaian dan barang elektronik yang menunjukkan kota ini makmur. Jalan-jalan yang lebar, bangunan yang tertata rapi, kebersihan kota ini sangat memesona, berbeda dengan beberapa bagian dari kota Kairo yang tampak kumuh.
Pemandangan yang eksotik sulit dilupakan. Makanan di restoran yang nikmat tidak jauh dari makanan orang timur pada umumnya. Restoran Pelayan yang ramah dan profesional sangat mendukung kunjungan orang asli.
Bus berangkat kota pelabuhan yang indah ini lewat menunggu dua siang. Tidak banyak kendaraan yang lalu lalang. Hanya sesekali berpapasan dengan kendaraan lain, kompilasi, bis, merangkak, keluar, kota menuju arah timur yang semakin meningkat. Deru kendaraan yang ber-AC merangkak dengan kecepatan enam puluh kilometer di jalan yang agak rata. Di kiri kanan adalah bukit batu yang tidak kalah tinggi dari piramida di Gizeh. Mengapa firaun-firaun Mesir tidak memakamkan jenazah mereka di celah-celah bukit batu ini, pikirku. Di kiri kanan jalan semuanya bukit batu yang tinggi. Pikiranku kembali ke masa lalu, beribu-ribu tahun yang lalu orang Ibrani menyeberang jalan berdebu, membawa beban keperluan sehari-hari, tenda yang diangkut unta dan anak-anak kecil yang harus dijalankan dengan cepat dan setiap kilometer kilometer rombongan besar ini harus berhenti. Berminggu-minggu, berbulan-bulan mereka harus berhenti di dataran tinggi sepanjang jalan yang terbuka. Bagaimana mereka mendapat udara?Bagaimana mereka memberi mereka minum?
Menjelang petang bus berhenti di permukiman penduduk barangkali bukan permukiman. Lebih tepat diselesaikan bangunan-bangunan terdiri dari restoran, hotel, dan tempat istirahat. Katanya, inilah kawasan Gunung Sinai.
Satu hari naik bus dari Kairo dan tiba tiba senja di kaki Gunung Sinai membuat badan terasa letih. Bagaimana orang Ibrani yang berjalan berbulan-bulan, dengan gerutuan yang diminta untuk Musa baik soal perjalanan yang tidak kunjung sampai, soal makanan dan minuman yang membuat mereka berontak. Ke mana akhir perjalanan ini? Tanya mereka. Di kaki gunung ini mereka berbulan-bulan istirahat memasang tenda, memberi makan kambing dan domba serta ternak lainnya. Kebosanan dan keluhan yang tidak habis-habisnya dikirim ke Musa yang dibawa keluar dari negeri yang penuh dengan bawang dan daging. Perjalanan apa ini? Ketika udara tidak ada, mereka marah dan memaki-maki Musa.
Bayangan itu kubawa tidur yang lelap. Tiba-tiba tengah malam membunyikan telepon di kepala tempat tidur berdering. Aku segera bangun dan mengenakan jins dan sepatu kets, jaket, dan topi. Istriku sudah siap. Aku ikut dengan rombongan pejalan malam. Lima belas menit naik kendaraan ke kaki Gunung Sinai. Bus berhenti tidak jauh dari biara St Catherina. Puluhan ekor unta menanti rombongan kami. Istriku naik ke depan, aku Naik di belakangnya. Setiap orang punya senter sendiri. Unta berjalan di kegelapan malam mengandalkan cahaya bintang di langit yang cerah dan malam yang sunyi. Hanya sesekali orang Beduin yang memegang kekang unta berteriak sesekali kompilasi unta membantu mengantuk dengan berjalan pelan. Saat sorot senter dibuka, ke kiri aku melihat jurang di bawah, sebelah kiri, di sebelah kanan bukit batu yang tinggi. Aku berpegangan pada kayu yang menonjol di tempat duduk. Berjam-jam aku melihat bintang gemerlapan di langit. Kalau melihat ke kiri aku tahu ngeri. Jalan berbatu-batu yang semakin meningkat semakin tinggi. Tidak jauh dari puncak Sinai ada goa yang dibuat warung yang diterangi lampu dinding. Unta merayap di tanah, aku mencoba melepaskan diri dari kursi kayu yang mengambil lekukan pundak unta. Susah sekali. Dua orang Beduin melepaskan kedua kakiku yang kaku. aku mencoba melepaskan diri dari kursi kayu yang mengambil lekukan pundak unta. Susah sekali. Dua orang Beduin melepaskan kedua kakiku yang kaku. aku mencoba melepaskan diri dari kursi kayu yang mengambil lekukan pundak unta. Susah sekali. Dua orang Beduin melepaskan kedua kakiku yang kaku.
Aku bergabung dengan yang lain. Untuk menghilangkan rasa haus kupesan segelas susu seharga tiga dolar. Di sebelah saya ada dua orang yang meminta-kata dalam doa mohon pengampunan dari Tuhan, dengan isakan suami-istri yang mencium tanah. Lagu setengah suara mengalun syahdu dalam keheningan malam disaksikan bintang-bintang di langit. Doa-doa menggetarkan hening malam. Kembali digugah oleh nada kepasrahan kepada Tuhan.
Satu jam di puncak Sinai, mungkin di goa Yoshua menunggu Musa di puncak sekali Gunung Sinai. Alangkah sunyinya Yoshua seorang diri 40 hari 40 malam menunggu Musa di puncak bukit itu. Menyaksikan kabut hangat dan teduh yang menyelimuti Musa dan Yoshua di malam hari, bagaikan api hangat yang menyala di mana.
Terbayang di mata batinku, Musa bercakap-cakap dengan Tuhan bagaikan dua sahabat yang sangat akrab. Musa tidak melihat wajah Tuhan sekaligus-merta, tetapi menghadiri-Nya yang terasa sangat nyata berselubungkan kabut kemuliaan.Bagi Musa waktu berjalan dengan cepat karena keakraban itu melekat dalam batinnya dan segala pesan itu melekat dalam benaknya. Yoshua menunggu dan menunggu, dengan kesabaran yang luar biasa tanpa merasa lapar dan dahaga.
Dari renunganku aku terbangun kompilasi pimpinan rombongan menggamit lenganku yang tiba tiba untuk turun. Tanpa unta. Ya, turun dengan tidak tentu sangat menakutkan. Siapa yang dapat memegang tubuh dan mengambil irama sampai yang sangat menurun? Hanya bintang yang tertegun di angkasa sana.
Aku tebayang Musa yang dikawal. Yoshua yang turun dari Gunung Sinai. Mereka yang mendengar sorak-sorai, bunyi musim bersipongang. Genderang perang?Musa bertanya-tanya. Yoshua pun menyangka. Barangkali perang, katanya. Tidak!Itu suara menari dan musik puja-pujaan untuk dewa Firaun.
Mendekati kaki bukit tempat Israel berkemah, wajah Musa memerah penuh angkara. Musa melihat abangnya, Harun, memimpin penyembahan kepada patung anak lembu. Ia mendekat dan melepaskan dua buah batu yang berisi 10 kata untuk patung anak lembu itu, jatuh berkeping-keping. Harun terkejut dan kesulitan, berdalih. Orang-orang Ibrani yang terlibat dalam pemujaan itu disuruh minum dari udara yang diramu dengan abu patung. Tidak kepalang tanggung, Musa menyuruh orang Lewi dan menikam mereka yang memuja patung lembu. Tiga ribu orang yang mati pada hari itu.
Kepala-kepala suku menjadi perubahan. Mereka bertanya-tanya kepada diri sendiri, memulai pernikahan nasib kami?
Menjelang subuh aku tiba di tembok biara St Catherina dan bersandar karena kaki yang terasa sangat letih, penat dan kaku.
Aku baru saja turun dari Gunung Sinai, dengan celana jins dan jaket kulit, dan sepatu kets.


Wilson Nadeak, lahir di Porsea, Tapanuli Utara, 74 tahun yang lalu. Telah menulis sejumlah kumpulan cerpen, esai, kritik, dan kumpulan puisi. Kini tinggal di Bandung.


0 Response to "Di Bawah Bayang-bayang Gunung Sinai"

Posting Komentar