Cerpen Mardi
Luhung (Kompas, 26 Maret 2017)
Orang
yang Tak Bisa Berbohong ilustrasi Nyoman Sujana Kenyem/Kompas
Siapa
pun tahu, Dia tak bisa berbohong. Apa yang diomongkan selalu benar. Dan selalu
tepat pada sasaran. Mangkanya, di kampung, jika ada persoalan penting dan
membutuhkan orang yang tak bisa berbohong, maka orang-orang selalu menunjuk
Dia. Dan menyatakan: “Dalam sejarah kampung, kita beruntung mempunyai warga
seperti Dia. Sehingga, kebenaran selalu dapat terjaga. Kebenaran, yang bagi
orang lain sulit untuk diomongkan, tapi bagi Dia selalu saja dapat diomongkan.”
Tapi, kini, orang-orang di kampung mencuekkan dia. Dia ada atau tak ada, tak
ada yang peduli. Jadi, semacam pepatah: “Datang tanpa muka, pergi tanpa
punggung,” itulah Dia. Dia yang mungkin lebih banyak hidup dan bergerak
sendirian. Dia yang ketika berjumpa dengan orang-orang, lebih banyak
dijauhi. Dan lebih banyak seperti angin. Terasa tapi tak terjamah.
Kenapa
orang-orang memperlakukan Dia seperti itu? Itu ada kisahnya. Begini: dulu ada
peristiwa yang menggemparkan, yang terjadi di kampung, tentang uang yang
hilang. Uang itu milik pak Zain. Uang hasil penjualan tiga ekor sapinya. Lalu
orang-orang mencarinya. Dan pencarian itu pun mengerucut pada diri Gondo.
Pemuda kampung yang luntang-lantung. Yang ketika ditangkap, sedang termenung di
bawah pohon trembesi. Dari kantong tas kresek Gondo, orang-orang menemukan
sejumlah uang. Jumlah uang itu demikian banyak. Yang tak mungkinlah dipunyai
Gondo yang luntang-lantung itu.
“Kau
pencurinya?”
“Pencuri
apa?”
“Pencuri
uang pak Zain!”
“Tidak.
Aku bukan pencuri!”
“Lalu,
darimana kau dapatkan uang sebanyak ini?”
“Aku
menemukan di jalan.”
“Jalan
mana?”
Sayangnya,
Gondo lupa di jalan mana menemukan uang itu. Sehingga hanya bisa menjawab:
“Mungkin, mungkin, dan mungkin. Ya, mungkin di jalan ini, mungkin di jalan itu,
juga mungkin di jalan ini dan itu.” Akibatnya, orang-orang jadi marah.
Merangsek. Dan ingin menghakimi.
“Kita
hajar saja dia!”
“Dia
berlagak bego!”
“Ini
sudah jelas. Dia pencurinya!”
“Kita
tanyai pelan-pelan!”
“Tapi
dia sudah mempermainkan kita!”
“Hajar
dulu saja!”
Tepat
ketika suasana menaik. Suasana ketika orang-orang akan bertindak, tiba-tiba Dia
muncul. Dan entah kenapa, orang-orang jadi menenang. Dan suasana yang semula
panas jadi mendingin. Lalu ada seseorang yang berkata: “Hei, orang yang tak
pernah berbohong, katakan, apa benar Gondo yang mencuri uang pak Zein?”
“Katakan,
ayo, katakan!”
Dia
pun menghampiri Gondo. Berbisik. Gondo pun menjawab dengan bisik. “Gondo memang
menemukan uang itu di salah-satu jalan yang mengarah ke luar kampung. Tapi
Gondo lupa itu jalan yang mana. Sebab saat itu malam hari,” begitu kata Dia
setelah saling berbisik dengan Gondo.
“Itu
tak mungkin!” sahut seseorang.
“Dia
kok jadi begini,” sahut yang lain.
“Dia
sudah mulai berubah!”
“Masak,
menemukan uang kok lupa tempat di mana menemukannya.”
Dia
tersenyum. Lalu menambah: “Cobalah kalian pikir, kenapa Gondo lupa di jalan
mana uang itu ditemukannnya. Sebab, semua jalan yang mengarah ke luar kampung,
terutama malam hari sama. Gelap, rusak, dan tak ada tanda-tanda arah jalannya.
Hayo siapa yang salah. Jika Gondo tak mengenali lagi di jalan mana uang itu
ditemukannya?”
Orang-orang
tercekat.
“Jadi,
daripada ribut, ambil saja uang yang ada di tas kresek Gondo. Lalu segera kita
perbaiki jalan-jalan yang rusak itu.”
Orang-orang
saling berpandangan. Dan meski di hati mereka masih tak terima, tapi apa mau
dikata. Omongan yang baru saja mereka dengar itu benar adanya. Dan memang,
sudah seringkali, mereka sendiri mengeluh atas kondisi jalan-jalan yang
menghubungkan kampung mereka dengan kampung-kampung yang lain. Bahkan, pernah
terjadi, ada orang dari luar kampung yang ingin memasuki kampung mereka di
malam hari, tapi tak sampai-sampai. Jadinya, bagi orang dari luar kampung,
hanya berani mendatangi kampung mereka di siang hari. Sedangkan, bagi mereka
sendiri (orang kampung itu) pun enggan untuk bepergian ke luar kampung di malam
hari. Di samping mereka sulit mendapat arah ke luar, juga merasa selalu saja
kembali ke tempat semula. Dan atas hal ini, maka kampung mereka disebut sebagai
Kampung Siang Hari.
“Benar
juga.”
“Dia
memang tak berbohong.”
“Jadi,
ini semestinya urusan transportasi kampung.”
“Tapi,
urusan transportasi kampung tak punya dana untuk itu.”
“Siapa
yang mesti memberi dana?”
“Bendahara.”
“Aduh,
seumur-umur yang ada, bendahara juga tak punya dana untuk itu.”
“Loh
pak kepala kampung bagaimana?”
“Pak
kepala kampung juga tak punya dana.”
“Jadi?”
Percakapan
itu pun berhenti sampai di situ. Memang, selama ini mereka abai terhadap
kondisi jalan-jalan yang menghubungkan kampung mereka dengan kampung-kampung
yang lain. Padahal, kampung mereka jauh berada di pelosok. Tak ada angkutan
umum yang beroperasi. Sedangkan, untuk jalan kaki, dibutuhkan waktu kurang
lebih tiga-hari dua-malam. Untuk naik motor minta ampun susahnya. Dan seminggu
ke depan, semua penduduk kampung pun bergotong-royong memperbaiki jalan-jalan
yang mengarah ke luar kampung itu. Tanda-tanda arah jalan diperjelas.
Penerangan ditambahi. Dan atas usaha pak kepala kampung, mesin diesel pun
didatangkan lagi. Dan menurut pak kepala kampung juga, sekian tahun ke depan,
akan diusahakan, bagaimana jaringan listrik dapat merambah kampung mereka.
“Nah,
kini kita mesti membikin rapat pembentukan panitia,” kata pak kepala kampung
ketika urusan gotong-royong memperbaiki jalan-jalan selesai.
“Rapat
pembentukan panitia?”
“Ya,
rapat pembentukan panitia penerimaan jaringan listrik,” tandas pak kepala
kampung.
“Dan
untuk lebih baiknya, kita undang juga orang yang tak bisa berbohong itu,” sahut
seseorang.
Maka,
empat hari kemudian rapat panitia itu digelar di balai kampung. Rapat itu
begitu meriah. Usulan-usulan pun dilontarkan. Lalu, setelah rapat hampir
selesai, barulah Dia, orang yang tak bisa berbohong itu, dipersilakan
memberikan masukannya.
“Saudara-saudara,
selanjutnya, mari kita sambut orang yang tak bisa berbohong.”
“Akurrr!”
Dan
Dia pun maju. Tatapannya biasa-biasa. Lagak-lagunya juga biasa-biasa. Tepat di
podium, Dia ngomong begini: “Selamat atas terbentuknya panitia. Saya cuma
berharap, kampung kita tetap aman-aman. Sebab, semakin kampung terang, nanti
akan semakin banyak uang yang hilang.” Byar! Orang-orang yang mendengar pun
ribut. Kasak-kusuk. Bahkan ada yang mulai gremang-gremeng. Tak percaya, jika
Dia, yang dianggap tak bisa berbohong itu, akan ngomong seperti itu. Dengan
kata lain, jika nanti kampung sudah terang, maka akan banyak uang yang hilang.
Dan itu tentunya, akan banyak pencuri yang berseliweran. Mungkin-mungkin,
salah-satunya adalah diri mereka sendiri yang dituduh pencuri. Gila!
“Ya,
itu omongan gila.”
“Tak
masuk akal!”
“Dia
sudah meracau!”
“Kemarin
Dia membela Gondo, karena jalan-jalan yang mengarah ke luar kampung gelap!”
“Kini,
ketika mau diterangkan, malah memutar-balikkan fakta!”
“Sudah,
jangan lagi dipercaya!”
“Turunkan
Dia!”
“Turunkan
cepat!”
Dan
Dia pun diturunkan dengan paksa dari podium. Meski pak kepala kampung mencoba
menengahi, tapi orang-orang sudah tak mau percaya. Seperti angin gunung yang
gesit, Dia pun dihentakkan. Dia terjerembab. Tersungkur. Dan sejak itu, sejak
panitia penerimaan jaringan listrik bekerja, Dia dilupakan. Rasanya, setiap
orang yang ada di kampung, sudah tak mau lagi menerima keberadaannya. Dia ada
atau tak ada, dianggap tak ada. Sampai listrik benar-benar merambah ke kampung.
Sampai nama kampung mereka, Kampung Siang Hari diganti menjadi Kampung Terang
Benderang.
Kampung
yang mudah untuk didatangi kapan pun dan oleh siapa pun. Dan kampung, yang
entah kenapa, mulai terlanda kabar, bahwa ada dari penduduknya (yang kebetulan
duduk di jajaran panitia penerimaan listrik), telah menyalahgunakan sebagian
dana yang ada. Akh, orang-orang pun kaget. Terus teringat pada omongan Dia,
orang yang tak bisa berbohong itu, saat di podium dulu. Tapi sayangnya, rasa
malu orang-orang telah begitu tebal. Sehingga, tetap saja mencuekkan Dia.
Sampai kini.
Mardi Luhung: Lahir di Gresik, Jawa Timur, 5 Maret 1965. Puisinya
tersebar di sejumlah media. Buku puisi tunggalnya: Terbelah Sudah Jantungku (1996), Wanita yang Kencing di Semak (2002), Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007), Buwun (2010), Belajar Bersepeda (2012), Musim, Jarum dan Baskom (2015), dan Teras Mardi (2015). Tahun 2010 mendapatkan
anugerah Khatulistiwa Literary Award. Kumpulan cerpen pertamanya, Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku (2011).
0 Response to "Orang yang Tak Bisa Berbohong"
Posting Komentar