Cerpen Herman RN (Kompas, 19 Maret 2017)
Gegasi dalam Cerita Kakek ilustrasi Najib Amrullah/Kompas
ANAK
kecil harus tidur cepat. Kalau tidak, nanti dimakan gegasi. Begitu kata kakekku
saban malam.
“JADI
kita tidak boleh keluar malam hari ya, Kek? Kalau aku mau lihat bola di langit,
Kek? Bolanya terang sekali. Bola itu cuma ada malam hari, Kek. Boleh, Kek?”
Kakek
tersenyum. Tatapannya lekat. “Itu bukan bola, cucuku.” Ia merangkulku lalu
memapahku ke kamar. “Tidak baik lama-lama di luar. Nanti dimakan gegasi.”
Ini
bukan kali pertama kakek menyebut nama gegasi agar aku segera tidur. Pernah
suatu kali, di saat aku sedang bermain bersama teman-temanku di halaman rumah,
kakek menghardikku. Katanya, kalau aku tidak segera masuk dan tidur, gegasi
akan memakanku. Di kali yang lain, ketika aku sedang tidak bisa tidur, kakek
juga mengatakan, gegasi akan datang dan menelanku bulat-bulat.
“Kenapa
gegasi suka makan orang, Kek?”
“Gegasi
itu senang makan anak kecil. Cuci kaki dulu. Nanti kakek ceritakan tentang
gegasi.”
Inilah yang kutunggu, cerita tentang gegasi. Hampir setiap
malam, sejak ayah dan mak meninggal, hanya kakek yang menemani malamku. Ia
mencucikan kakiku setiap sebelum tidur. Kadang, kakek juga yang ceboki
pantatku. Hampir saban malam pula, kakek kerap mendongengkan hikayat-hikayat di
kampung kami. Kakek bercerita hingga aku terlelap. Cerita yang paling
kuingat, Banta Ahmat, Malem Diwa,
dan Buluh Perindu. Kata kakek, Banta Ahmat seorang anak yang sakti. Tapi, Malem Diwa lebih sakti lagi. Namun, berulang kali
aku minta kakek bercerita tentang gegasi, setiap kali pula kakek tidak mau.
Alasan kakek, nanti gegasi benar-benar datang dan merusak rumah kami, lalu
mengisap darah dari ubun-ubunku dan menelanku bulat-bulat.
“Kakek,
gegasi itu siapa? Ayo cerita tentang gegasi, Kek. Apa bola di langit itu bisa
dimakan gegasi juga?” tanyaku sambil menarik selimut.
Kakek
kembali tersenyum. “Itu bukan bola, cucuku, tapi bulan. B-U-L-A-N. Bulan.”
“Bulan?
Apa itu, Kek?”
“Hmm
…. Begini, setiap orang yang sudah meninggal, rohnya dibawa ke bulan. Trus….”
“Ayah
dan mak di bulan juga Kek?”
Kakek
diam. Tangannya mulai menggulung tembakau dengan daun nipah. Entah berapa lama
sudah kakek mengisap rokok daun nipah itu. Kulihat tangannya sangat terampil
membalut tembakau dengan daun nipah. Dalam sedetik, rokok daun nipah itu sudah
berada di bibir kakek.
“Kek,
kalau aku mati nanti, apa dibawa ke bulan juga? Aku bisa jumpa ayah dan mak di
sana?”
“Iya,
ayah, mak, nenek, semua sudah berkumpul di bulan. Nanti, kau dan kakek juga
akan sampai ke bulan. Sekarang mari tidur.”
“Kakek
belum bercerita malam ini. Kakek bilang mau cerita tentang gegasi.”
“Malam
sudah larut. Besok malam kakek ceritakan ya.”
Kakek
mengusap lembut ubun-ubunku. Ia pandangi mataku. Matanya bercahaya. Mulai tiga
tahun lalu, sejak ayah mati ditembak orang tidak dikenal, disusul mak tiga
bulan kemudian karena sakit-sakitan sejak menyaksikan kematian ayah—begitu
cerita kakek padaku—kakeklah yang menggantikan posisi ayah dan mak. Kakek
bekerja di rumah-rumah orang kaya kampung kami dan kampung tetangga. Kata
kakek, siang ia bekerja. Malamnya, baru ia kembali ke rumah-rumah orang kaya
itu untuk mengambil upah.
“Orang
kaya itu baru pulang ke rumahnya saat malam. Siang hari mereka ke kantor,” ujar
kakek.
“Kek,
malam ini kakek ke rumah orang kaya lagi? Bagaimana nanti kalau kakek jumpa
gegasi di jalan. Aku tak mau kehilangan kakek.”
Kakek
tertawa kecil. Lagi-lagi ia menjelaskan, gegasi hanya suka pada anak kecil,
bukan orang tua. “Apalagi orang yang sudah keriput seperti kakek ini, gegasi
tidak suka. Darah orang tua itu tidak sesegar darah anak kecil.”
Aku
bergidik membayangkan gegasi muncul di hadapanku, mematahkan tangan dan kakiku,
mengisap darah dari ubun-ubunku, lalu menelanku bulat-bulat seperti kata kakek.
Segera aku sembunyi di balik selimut.
Akhir-akhir
ini banyak orang mengatakan gegasi sering muncul di kampung kami. Tapi, gegasi
yang diceritakan orang kampung tidak memakan anak kecil. Ia hanya masuk
rumah-rumah orang, mengambil emas dan barang berharga lainnya. Lalu gegasi itu
pergi entah ke mana.
Beberapa
saat kupejamkan mata, aku ingat bulan. Kubuka kembali mataku. Kutarik tangan
kakek. “Bulan hanya tempat orang baik ya Kek? Berarti gegasi tidak ada di
bulan?”
“Kamu
benar,” sahut kakek sambil membetulkan selimutku.
“Kek,
apa bulan mau turun ke rumah kita?”
“Kalau
bulan turun ke rumah kita, gegasi bisa datang ke sini. Semua orang kampung juga
akan datang dan mengobrak-abrik rumah kita untuk mengambil bulan. Rumah kita
bisa roboh. Sudahlah, ada-ada saja kamu. Baca doa sebelum tidur supaya jangan
diganggu gegasi.”
“O…
rumah-rumah yang roboh itu karena bulan turun ke sana ya, Kek? Jangan-jangan
Gegasi itu mencuri karena disangkanya di rumah orang-orang kaya itu ada bulan.”
Kakek
terkekeh. “Rumah di seberang sana dibongkar bukan karena bulan, tapi karena
kebijakan pemerintah.”
“Pemerintah?
Jadi pemerintah yang bongkar rumah Amin, Dedi, Juli? Sekarang kawan-kawanku
tidak punya rumah lagi, Kek. Pemerintah itu jahat ya, Kek? Pemerintah itu
seperti gegasi.”
“Sudah
sudah, nanti kalau sudah besar, kau pasti mengerti. Pejamkan mata. Janjinya
tadi apa? Mau tidur cepat kan? Atau kakek panggil gegasi?”
***
Malam
ini cahaya dari langit bersinar sangat terang. Sinarnya melebihi malam kemarin.
Jalanan kampung kami yang biasanya gelap, malam ini terlihat sangat jelas.
Rumput-rumput di pinggir parit tepi jalan pun memancarkan kemilau. Di daun
keladi, cahaya itu memantul seperti cahaya di ekor kunang-kunang.
“Kek,
aku main dengan teman-teman sebentar ya?” pintaku sembari menyusul teman-teman
berlarian, tanpa menghiraukan suara kakek melarangku.
Aku
dan teman-teman berputar-putar di halaman rumah, mendekati daun keladi dan
mencoba menangkap pantulan cahaya dari langit. Kami mengikuti anak-anak lain
yang berlarian sepanjang jalan kampung. Kami menelentangkan tangan seolah-olah
menangkap cahaya dari langit. Aku terus berlari. Berlari dan lari. Tanpa
kusadari, aku sudah jauh meninggalkan rumah. Aku sudah berada di pengujung
jalan perbatasan kampung kami dengan kampung tetangga. Di sana orang-orang
semakin ramai.
“Malam
ini purnama sangat indah!” Entah siapa yang mengucapkan kata-kata itu dari
keramaian.
Di
ujung lorong tiba-tiba terdengar suara sangat gaduh. Ada maki-makian juga.
Mereka memekik gemas.
“Bakar!
Bakar!”
“Lemparkan
saja ke sungai!”
“Bunuh!
Cincang tubuhnya biar binatang buas memakan tubuh manusia bejat itu!”
“Dia
…. Pasti dia gegasi yang selama ini menakut-nakuti kita!”
“Bunuh
Gegasi ini! Bunuh! Bunuh…!”
“Ganyang!”
Aku
dan teman-teman mendekati kerumunan. Sayup-sayup terlihat sesosok tubuh
dihujani pukulan dan tendangan beramai-ramai. Ada yang melemparinya dengan
batu. Semua orang memaki. Semua orang melempari. Ada yang menyepak tubuh tak
berdaya itu. Ada yang menendang di bagian perut, di bagian kepala, dan kaki.
“Pak…
Pak?” sapaku pada seorang lelaki dewasa.
“Kamu
anak kecil, jangan dekat-dekat. Itu gegasi. Dia yang meresahkan kampung kita
selama ini,” sergahnya.
Penjelasan
lelaki itu membuatku semakin penasaran. Aku ingin sekali melihat wajah gegasi
yang asli, apakah seperti yang diceritakan kakek? Bagaimana dia bisa
tertangkap? Aku mendekati kerumunan itu. Menyelinapkan tubuhku di antara
desakan orang-orang. Belum sempat aku menembus desakan, kudengar dua lelaki lainnya
bercerita tentang gegasi itu.
“Tadinya
setelah masuk rumah Pak Mahmud, gegasi itu mau melarikan diri, tapi terlihat
salah seorang penduduk. Dia lari dan sembunyi di bawah jembatan. Untung bulan
bersinar terang malam ini. Mampus gegasi itu sekarang!” kata seorang lelaki.
“O,
itu gegasi yang selama ini menakuti anak-anak? Nekat dia ya?”
“Kasihan
dia,” kata lelaki lain lagi.
“Gegasi
itu tidak pantas dikasihani! Biar dia mampus. Beruntung sekali kita malam ini
ada bulan purnama.”
Puas
menghujani tendangan dan pukulan pada si gegasi, satu per satu penduduk
meninggalkan tempat itu. Terlihat olehku sesosok lelaki terkulai tak berdaya.
Aku mendekat. Benar kata orang-orang tadi, gegasi ini sudah tua.
Kuamati
darah berceceran di sekitarnya. Walau gemetar, aku dan beberapa anak-anak
sebayaku mendekati sosok tersebut. Satu dua mereka ada yang mundur ketakutan.
Namun, ada juga yang memainkan gegasi yang sudah tak berdaya itu. Mereka
mencolek-colek tubuh gegasi itu dengan kayu kecil. Saat seorang anak
membalikkan wajah tak berdaya itu dengan kayu di tangannya, aku tersentak.
Jantungku serasa copot. Aliran darahku nyaris berhenti.
Aku
menangis menatap gegasi itu. Teman-teman melihat ke arahku. Mereka melongo. Aku
terus menangis sambil melihat tubuh berlumur darah itu. Darahnya berkilau-kilau
ditimpa cahaya bulan. Kulihat ke langit. Sinar sebesar talam perlahan ditutup
awan. Mendadak aku benci sinar itu. Aku benci bulan. Aku benci malam.
“Kakekku
bukan gegasi!”
Herman
RN,
lahir April 1983. Menulis cerpen, puisi, esai, dan resensi. Meraih penghargaan
sastra dari Balai Bahasa Aceh (2009).
0 Response to "Gegasi dalam Cerita Kakek"
Posting Komentar