Riza
bingung setengah mati. Setengah hatinya ingin melepas si Itam pergi, setengah
hatinya lagi berkata tidak. Galaunya melebihi saat ia menimbang akan meminang
Rani atau malah meninggalkannya. Seakan mengetahui persoalan hatinya yang tak
kunjung reda, si Itam berkokok kencang. Kok! Padahal, hari belumlah pagi.
Seiring dengan kokokannya yang makin lama makin keras, aliran darah Riza
semakin deras. Merah melumuri hatinya. Marah menyelimuti tubuhnya. Ia marah
pada segala. Pada orangtuanya, pada dirinya sendiri, pada keadaan. Mengapa
ayahnya mati meninggalkan utang? Mengapa pula ibunya sakit di kala ekonomi
semakin sulit? Mengapa pula ia harus lahir sebagai anak pertama yang harus
menanggung semua? Dua adiknya masih butuh sekolah. Ibunya perlu obat. Dan, ia
butuh otak untuk memutar semuanya.
Cemani yang Tak Mau Pergi ilustrasi I Made Arya Dwita Dedok/Kompas
“Pening
sekali kepalaku Mak Etek. Kalau begini terus bisa bangkrut aku. Dua kali
ladangku diserang tikus. Padahal, punya Pak Haji di seberang sana baik-baik
saja.”
“Apa
yang sudah Datuk upayakan?” tanya Mak Etek.
“Sudah
kupasang jebakan di lubang-lubang keluar masuk mereka. Malah orangku yang
terkena dan bengkak kakinya hingga tak bisa kerja. Lalu kucoba bikin pestisida
nabati. Kubeli cabai dan jengkol beratus kilo, tapi padiku keburu digerogoti.
Pening aku.”
“Kalau
begitu Datuk harus adakan ruwatan,” ujar Mak Etek.
“Bagaimana
caranya?”
“Sembelihlah
seekor cemani dewasa. Harus yang jantan, berlidah, dan berdarah hitam. Darahnya
akan menjaga ladangmu.”
“Ayam
hitam? Itu susah sekali, di mana aku mendapatkannya Mak Etek?”
“Datuk
upayakan saja dulu. Cari di pasar burung, atau datangi peternakan-peternakan
ayam. Kalau sudah ada, baru hubungi aku.”
“Berapa
lama waktu yang Mak Etek berikan?”
“Dua
minggu.”
“Baiklah,
akan kucari dulu ayam hitam itu.”
“Ingat,
lidah dan darahnya harus hitam,” kata Mak Etek.
Kepala
Datuk semakin pusing. Di mana ia dapat menemukan ayam hitam? Setahu dirinya,
ayam cemani itu sangat langka. Sedikit menyesal ia pergi kepada Mak Etek. Kalau
tahu persyaratannya sangat sulit seperti ini, lebih baik ia teruskan saja usaha
pembuatan pestisida nabatinya. Mungkin dengan menambah pegawai, pembuatan
pestisida itu akan semakin cepat. Tapi dengan menambah pegawai, menambah pula
biaya yang harus dia keluarkan. Padahal, penghasilan dari ladangnya pun sudah
tidak ada. Ah, arah sudah tidak bisa diputar lagi, pikirnya. Sekali pergi ke
Mak Etek, maka ia harus menyelesaikan urusannya sampai tuntas. Sebab dukun tua
itu terkenal sakti dan pemarah. Kalau ia sampai tidak kembali lagi, bukan tidak
mungkin usahanya semakin sulit karena dikutuk Mak Etek. Bahkan menurut
desas-desus orang di kampungnya, Mak Etek mampu mengutuk orang menjadi
binatang. Dan, di rumahnya, Mak Etek memang banyak memelihara binatang. Ada
ayam, itik, kucing, biawak, burung hantu, musang, dan entah apa lagi. Bahkan
konon ayam balenggeknya yang pandai bernyanyi itu adalah sihirnya atas penyanyi
dangdut keliling dari Pekanbaru yang gagal membayarnya. Datuk bergidik. Sesisip
angin membelai tengkuknya. Selekas angin itu pergi, segera ia memanggil Sobari,
pegawai kepercayaannya.
“Bari…”
“Ya,
Datuk.”
“Kau
tahu persoalanku semakin sukar.”
Tentu
saja Sobari tahu masalah yang sedang menimpa majikannya. Kesusahan Datuk lambat
laun akan menjadi persoalan juga buatnya. Jika majikannya sampai bangkrut, ia
pun bisa jadi dipecat dan bagaimana pula ia dapat menghidupi keluarga dan
memenuhi selera belanja Ros, istrinya yang cantik dan dipujanya. Karena itu, ia
akan berusaha keras untuk membantu sang Datuk memulihkan ladangnya. Terdengar
olehnya selentingan kabar bahwa Pak Haji di kampung seberang berhasil melalui
dua musim panen ini. Padahal, ladangnya tidak lebih luas daripada ladang
majikannya. Sepertinya tikus-tikus sialan itu enggan berkeliaran di ladangnya.
“Ia
pasti pakai jimat,” ujar Ros.
Perihal kesukaran majikan suaminya tentu juga mempengaruhi
jatah uang belanjanya. Ros khawatir ia tidak bisa lagi membeli baju-baju cantik
mentereng dan makeup warna-warni terbaru di
kota. Ia malu jika tidak bisa pamer pada ibu-ibu tetangga di acara arisan desa.
Statusnya sebagai istri cantik nan muda bisa lengser digusur perempuan lain.
“Coba
kau suruh Datuk ke Mak Etek,” Ros memberi saran suaminya.
Ia
sering mendengar dari gosip para ibu tetangga kalau Mak Etek yang sakti itu
bisa membantu apa saja. Bahkan ada beberapa istri yang curiga kalau suaminya
main serong, pergi ke Mak Etek dan dua hari setelahnya terlihat mesra dengan
sang suami seperti pengantin baru.
Saran
itu diteruskan oleh Sobari ke majikannya, dan sampailah Datuk pada persoalan
mencari cemani.
“Saya
sudah mencarinya sampai ke Pasar Padang Panjang, Datuk. Ayam cemani di sana
masih terlalu muda. Saya sampai datang ke peternakan pemiliknya. Ada beberapa
cemani yang sudah besar, tapi mereka tidak membiarkan saya untuk melukai
ayamnya. Padahal, saya harus mengetes apakah darah yang keluar berwarna merah
atau hitam.”
Datuk
termenung. Pikirannya sekusut hatinya. Memang benar, seharusnya ia tidak usah
pergi ke Mak Etek kalau tahu persoalannya akan bertambah satu lagi. Sudah lewat
seminggu ia belum mendapatkan cemani yang disyaratkan oleh Mak Etek.
“Tapi
Datuk…,” kata Sobari ragu-ragu. ”Sebenarnya ada satu cemani di Kampung Manggis
ini. Istri saya sering melihatnya.”
“Di
mana itu?”
Datuk
langsung bangkit dari kelesuannya. Harapan mendadak menyegarkan wajahnya.
“Di
sebelah rumah saya. Si Riza, anak Rais yang ketimpa longsor di Bukit Tui bulan
lalu. Dia piara cemani, Datuk. Cemaninya gemuk dan sehat. Tempo hari, tak
sengaja sempat beradu dengan ayam jago saya. Ayam cemani itu terkena patuk, dan
dia sedikit luka. Darahnya hitam, Datuk. Benar!”
“Kalau
begitu, aku harus segera mendapatkannya.”
“Tapi…
sepertinya harus Datuk sendiri yang memintanya. Si Riza ini tampak sayang
sekali pada ayamnya. Karena Datuk orang terpandang, mungkin ia juga segan kalau
menolak permintaan Datuk.”
Petang hari itu juga, Datuk dan tangan kanannya berangkat ke
rumah Riza. Dari Sobari, ia mengetahui kalau ibu Riza sakit keras. Asmanya
semakin parah sejak ditinggal mati suaminya. Riza pastilah membutuhkan uang
untuk ibunya berobat. Belum lagi untuk menyekolahkan kedua adik perempuannya
yang masih kecil. Datuk berani membayar mahal untuk ayam itu. Lamak di awak, katuju di urang! [1]
Seperti
kata Sobari, ayam itu ayam cemani yang sangat sehat. Tubuhnya padat seperti
ayam jago petarung. Bulu-bulunya hitam mengilap tertimpa matahari senja.
Paruhnya kecil tajam seperti mata badik dengan hiasan sepasang pial. Matanya
cerdas menatap, di bawah jengger bergonjong enam seperti pucuk rumah gadang.
Dengan ekor terjurai megah, ia bertengger di atas pagar kayu. Kok! Mendadak ia
membuka paruh, memamerkan bilah lidahnya yang berwarna hitam juga. Lalu ia
melompat dan berlari ke arah rumah. Kaki-kakinya kokoh dan sekilas terlihat
oleh Datuk tajinya runcing mematikan. Meskipun bukan ayam petarung, pastilah
ayam ini kuat.
“Maafkan
saya, Datuk. Saya tidak mau menjual si Itam.”
Begitulah
penolakan Riza yang sudah dua kali didengarnya. Keras sekali pendirian anak
itu. Persis seperti Rais, ayahnya sewaktu ia ingin menjadikan Rais sebagai
pegawai untuk menjalankan koperasi miliknya. Usaha peminjaman uang harian pada
penduduk sekitar dengan bunga yang lumayan menguntungkannya. Usaha yang
melibatkan uang tunai seperti itu membutuhkan orang yang dapat dipercaya. Datuk
tidak dapat berkeliling kampung sendiri, menawarkan pinjaman atau pun menagih
utang harian dari rumah ke rumah. Ia butuh orang yang jujur dan berani. Dan,
Datuk memilih Rais, karena Rais terkenal sebagai orang yang sangat jujur di
kampung itu. Selain itu, Rais juga masih mempunyai utang pada Datuk dan Datuk
berjanji untuk memberikan potongan bunga jika Rais mau membantunya. Tetapi Rais
lebih memilih untuk tetap bekerja sebagai penambang kapur sampai Bukit Tui
menguburnya. Dasar kepala batu! Diturunkannya pula sikap itu pada anaknya.
“Kau
tidak mau beli obat untuk ibumu? Kalau kau jual di Pasar Padang Panjang, paling
laku 700 ribu. Aku bisa kasih kamu lima juta supaya kamu bisa bawa ibumu ke
rumah sakit di Bukit Tinggi.”
Sudah
dua kali Datuk menaikkan tawaran. Pertama kali ia datang, ia menawarkan satu
juta untuk Riza. Kedua kali, ia naikan tawaran menjadi dua setengah juta.
Sekarang Datuk benar-benar heran jika Riza masih juga mau menolaknya.
“Maafkan
saya, Datuk. Saya tidak mau menjual si Itam.”
Kalimat
itu lagi. Dan, pagi itu, Datuk kembali pulang dengan tangan hampa.
Sesungguhnya
apa yang menjadi kegalauan Riza, tak lain adalah karena rasa sayangnya. Si Itam
sudah seperti sahabatnya sendiri dan ayam itu memang seperti mengerti dirinya.
Riza menemukan si Itam di aliran sungai kecil dekat Bukit Tui, seminggu setelah
peristiwa mengenaskan yang menimpa ayahnya.
Bencana
memang tidak dapat diduga. Saat itu hari Minggu pagi dan ia sedang
bermalas-malasan sambil membaca buku sewaktu ia mendengar gemuruh dari arah
Bukit Tui. Lewat beberapa menit, barulah ia sadar kalau ayahnya pergi menambang
di hari itu. ”
“Kok duduak marawuik ranjau, tagak maninjau
jarah. Nak kayo kuek mancari, nak pandai kuek baraja [2]. Agar
lebih dapat banyak kapur untuk kamu pergi kuliah,” kata ayahnya pagi itu.
Ayahnya
tahu, ia ingin sekali melanjutkan sekolah tinggi seni. Karena itu pula, ia
memutuskan Rani, kekasihnya karena gadis itu menuntut untuk segera dikawini
begitu lulus SMA. Bagi Riza, pencapaian diri itu perlu sebelum ia mulai
membentuk keluarga. Ia tidak ingin hidup ala kadarnya. Paling tidak, ia dapat
membawa keluarganya untuk lebih sejahtera. Untuk itu ia harus kuliah, dan
ayahnya mendukungnya.
Tetapi
apa mau dikata, ayahnya pergi tak kembali. Benar-benar tak kembali meski dalam
bentuk jenazah. Tim penyelamat tidak mampu menemukannya dan menyerah tiga hari
sesudahnya. Riza pergi sendiri seminggu setelahnya. Menyusuri Bukit Tui dari
pagi hingga petang, tanpa memedulikan tulisan larangan di sekitar tambang.
Namun, bukan ayahnya yang ditemukannya, tetapi seekor ayam jantan hitam yang
ditemuinya sedang mengorek pasir di dekat aliran sungai sebelah timur Bukit
Tui. Segera dibawanya pulang ayam itu, karena dipikirnya ayam hitam itu dapat
dijadikan obat untuk asma akut ibunya. Seseorang di pasar pernah berkata
demikian, kalau ayam hitam dapat menyembuhkan segala macam penyakit.
Di
luar dugaan, ibunya menolak usulan itu.
“Jangan
musyrik,” katanya. “Ibu hanya perlu obat.”
Tapi
ia tidak punya uang. Honornya sebagai penulis cerita di koran-koran hanya cukup
untuk mengisi lambung. Dan kini, saat seorang datuk mampu membantu mengobati
ibunya, ia malah telanjur sayang untuk melepas si Itam.
Kokokokok!
Kokok
si Itam semakin melengking. Memutus lamunannya, Riza segera bangkit ke luar.
Sekelebat pandangan mata dilihatnya bayangan berlari ke arah jalan. Lalu
matanya terpaku ngeri. Dilihatnya si Itam tergeletak menyamping di dekat pagar
kayu. Bilah lidahnya terjulur ke luar seakan ingin terus berkokok, tetapi yang
keluar dari paruhnya hanyalah erangan rendah. Darah pekat menggenang di sekitar
lehernya yang terkulai patah. Dua buah tajinya hilang entah ke mana. Nyeri
mulai naik merambati hati Riza. Dari pandangan mata si Itam, ia melihat setitik
cahaya, entah embun atau air mata. Dan, mata itu mengingatkannya pada sepasang
mata yang lain, yang datang dari balik ingatan, semakin redup dan akhirnya
menutup seiring lantunan azan subuh yang sayup.
Catatan:
[1]
Enak di saya, enak juga buat orang lain!
[2]
Kalau duduk meraut ranjau, berdiri mengintai mangsa. Ingin kaya, uletlah
mencari (uang). Ingin pandai, rajinlah belajar.
Angelina
Enny, lahir di Lampung, 19 Juli 1978. Menempuh pendidikan terakhir di Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia. Ia telah melahirkan buku fiksi “Siluet dalam
Sketsa” (2013), antologi cerpennya segera diterbitkan oleh Gramedia Pustaka
Utama. Pernah menjadi peserta “Workshop” Cerpen Kompas 2015.
0 Response to "Cemani yang Tak Mau Pergi"
Posting Komentar