Cerpen Ni Komang Ariani (Kompas, 19 Februari 2017)
Bagian I: Laki-laki yang
Menyeberang
Setiap kali peran dimasukinya,
laki-laki itu tahu, ada jiwa baru yang tumbuh. Jiwa-jiwa baru yang
memesona. Jiwa-jiwa baru yang menyeretnya dalam pusaran.Semakin ia
mengenal jiwa-jiwa itu, semakin ia diterima kerdil. Kecil. Sebuah
arus kecil di samudra luasnya. Semakin banyak yang belum
dikuasainya. Ia suka perenang pemula di tengah-tengah perenang
olimpiade. Diam-diam, ia layak iri.Pada jiwa-jiwa besar yang telah
dimasukinya. Ia sengaja membiarkan dirinya terserap, pusing
diombang-ambingkan, timbul tenggelam menuju dasar yang sangat jauh dan
dalam. Ia tak mau menjadi wajah yang menarik.
Ia tahu, sejak saat itu, ia
tidak pernah lagi bisa menjadi sosok yang sederhana. Ia tidak dapat lagi
menjadi seseorang yang dapat hal-hal yang dangkal. Tidak bisa lagi menjadi
orang yang suka keras dan lebar. Ia telah mendatangi tempat-tempat yang
datang menyambut air mata yang meleleh di lubuk hati. Air mata yang tidak
pernah tumpah menjadi titik-titik air yanng dapat dipegang. Air mata yang
mengalir bersama garis senyum dan tawa. Ia telah bertemu dan mengenal
orang-orang yang memiliki kebesaran jiwa. Jiwa yang lebih besar dari bumi
yang dapat mengukurnya. Air mata itu meresap dan menetes dalam
batinnya. Menetes-netes di sudut yang kosong dan terangkat naik ke dalam
jiwa-jiwa barunya yang terus tumbuh besar.
Laki-laki Itu mencintai
perempuan itu. Perempuan yang membuat tarikan senyumnya selalu
melebar Namun, ia tahu, ia dan perempuan itu tidak lagi berbagi ruang
batin. Tawa lebar perempuan itu di dunia yang berbeda. Mereka dapat
menikmati masing-masing, namun mereka tidak lagi berada pada dimensi yang sama.
Ia percaya cinta abadi di hati
pemiliknya. Ia dapat memeluk dirinya sendiri, seperti kompilasi tiga puluh
tahun yang lalu, ia memeluk dirinya sendiri meluncur dari
rahimantau. Sendirian memeluk tangisnya yang melengking membelah
kesunyian.Kesendirian yang sukses, namun kesadaran akan jiwa yang telah genap
sejak ia memenangkan.
Ia akan merindukan, namun
merindukan semakin kesengsaraan. Merindukan hanya mengabadikan
kenangan. Ia melukis perempuan di kanvas perdamaian, dan memajangnya di
setiap dinding sehingga mempercayai penuh oleh perempuan itu.
Selanjutnya, laki-laki itu tahu
apa yang akan selalu dibahas. Ia akan bercengkerama dengan air mata yang
mengajarinya banyak pengetahuan. Air mata yang mengajarinya jiwa-jiwa
besar. Ia tahu ia terlahir bukan hanya menjadi bagian wajah yang
menawan. Ia ditakdirkan untuk melewati wajah dan melewati dimensi
lain. Banyak hal yang terjadi. Bahkan, hal-hal yang tidak pernah
dipikirkannya.
Orang-orang yang berdansa
Di perjalanan, selalu ia
bertemu orang-orang yang berdansa. Orang yang selalu memandang dengan
wajah yang nyaman, seperti semua masalah di dunia yang telah menjadi masa
lalu. Mereka adalah orang-orang yang memikul beban yang teramat ringan di
pundak. Mereka dapat digunakan pada kesedihan dan
kegembiraan. Laki-laki itu menyerap air mata yang talah tersuling menjadi
air murni.
Orang-orang yang menghentikan
waktu
Laki-laki yang mengeluarkan
orang-orang yang berhenti di suatu titik waktu. Tepat kompilasi mereka
tiba di titik setimbang, mereka tidak mau lagi melangkah maju.Apa yang terjadi
kemudian adalah pengulangan demi pengulangan. Air mata mengalir dari
pipi-pipi yang terlipat garis waktu. Waktu tidak berhenti dalam waktu pun
pun.
Kerumunan yang berdengung
Yang paling berhasil lelah
adalah jika ia berhasil berada di tengah kerumunan yang berdengung. Jumlah
mereka sangat banyak, namun suara mereka sangat seragam.Suara-suara yang
terdengar adalah suara-suara yang membuat laki-laki itu mual.Suara tawa yang
ribut. Cekikikan. Suara pertengkaran yang memekakkan.Keramaian
celoteh di media sosial yang memuakkan. Mereka kerumunan yang menyerbu ke
mana saja, tanpa tahu apa yang menunggu mereka di tujuan.Kerumunan yang berlari
sekencang-kencangnya, namun tak tahu apa yang dikejar.Kerumunan yang
mengistirahatkan isi batok kepala mereka di kulkas dan tak pernah
menyentuhnya. Dibiarkan mengeras menjadi daging beku.
Orang-orang yang ditakdirkan
berselisih jalan
Laki-laki itu berhasil beberapa
orang yang selalu gagal ditemuinya. Ia tidak meminta izin atau
memintanya. Ia hanya berharap dapat bertemu pada angka yang tidak
diharapkan. Dan itu tidak pernah terjadi. Karena itu ia percaya,
beberapa orang yang saling mendukung telah ditakdirkan untuk tak pernah saling
bertemu.Mereka dapat berada di bandara yang sama beberapa saat, pulau yang sama
beberapa lama, mal yang sama beberapa waktu, namun tidak ada satu pun
persilangan yang mempertemukan mereka; menautkan mata mereka berhadapan di
satu titik. Barangkali agar mereka dapat saling berhubungan. Ada masa
lalu yang akan sepenuhnya terkubur. Ada masa lalu yang barakali kelak akan
memberikan jawaban.
Bagian II: Perempuan di Tepi
Persimpangan
Perempuan itu adalah perempuan
yang bimbang di tepi jalur. Persimpangan empat penjuru itu seperti
mengarah ke empat jalur yang serba misterius. Serba
mencekam. Perempuan itu tak bisa melihat ujung dari setiap pertemuan yang
ada di hadapannya.
Sekali lagi soal pilihan ganda
yang ganjil. Setiap kali hidup menyodorkan pilihan ke depan hidungnya,
perempuan itu memilih dengan segenap jiwa, namun Pilihan-pilihan yang tersedia
tidak pernah cukup baik. Seperti pertanyaan soal-soal pilihan ganda, Anda
tetap harus menyilang salah satu jawaban, soal pun anehnya jawaban-jawaban yang
tersedia.
Dia percaya begitulah hidup
yang nyata. Hidup adalah meloncat dari satu soal pilihan ganda ke soal
pilihan ganda yang lain. Hidup adalah memilih jawaban-jaaban ganjil dari
seorang pembuat soal yang ogah-ogahan. Hidup bahagia dongeng Cinderella
dengan pilihan pangeran tampan yang tinggal di istana yang megah.
Hidup adalah kegiatan memilih
benda-benda. Di rumah seperti apa yang Anda suka hidupmu. Berpakaian
seperti apa, laki-laki yang menjadi pasanganmu. Di restoran mana kalian
menghabiskan waktu untuk merayakan hari jadi . Apahidangan penutup yang
disajikan di restoran itu? Ke mana kalian akan pergi berlibur?
Kadang ia mengingat laki-laki
itu, namun perempuan itu tahu apa yang paling diingingkannya dalam
hidup. Ia tahu betul jenis gaun yang harus digantung di lemari
bajunya. Ia tahu betul jenis sepatu yang berjejer di rak
sepatunya. Dan ia telah lelah. Lelah mendengar suara kerumunan yang
terus berdengung di depan telinganya. Ribuan tawon yang tak lama lagi
mungkin akan dibuka labirin dan ditendang-mukul gendang telinganya. Dan
perempuan itu menyerah. Menyerah pada jawaban ganjil yang
disilangnya. Mengucap kata-kata penghibur memilih adalah pekerjaan paling
absurd di dunia? Setiap pilihan akan menjebakmu di tikungan yang tak
terduga.
Museum Rindunya telah menjadi
fosil, yang ia simpan di lemari disimpan di museum-museum yang
lengang. Seperti kata laki-laki itu, ia akan bisa memeluk lawannya
sendiri, sama seperti ia pertama kali meluncur dari rahimantau. Ia bisa
memeluk dirinya sendiri bersama suara tangis yang melengking, membelah kesunyian.
Dua sisi mata uang
Laki-laki berdiri di satu sisi,
dan perempuan berdiri di sisi yang lain. Mereka hidup bersisian, namun tak
pernah bersilang tatap. Laki-laki itu mengeluarkan dinding-dinding mata
uang yang dingin. Gambar perempuan itu menyusur gurat-gurat dan huruf
timbul yang ada di sana.
Kadang-kadang cinta diabadikan
dengan cara yang sangat ganjil. Dibiarkan terus tumbuh menciptakan
perasaan-perasaan baru seperti tumbuhnya kuncup-kuncup daun. Dibiarkan
terpisah dan tak bisa saling dipisahkan, seperti cetakan untuk terus
mengabadikan rindu.
Air mata-air mata di perjalanan
telah mengajari laki-laki itu tentang dua sisi mata uang. Lebih baik
kesedihan atau kegembiraan tidak pernah abadi. Setiap kali kesedihan
datang akan tiba tiba kegembiraan tiba. Setiap kegembiraan tiba, ia akan
menyimpan kesedihan yang akan hadir. Dua hal yang berlawanan selalu saling
berdampingan. Tak ada hal baik yang tak tertolong dengan hal
buruk. Tak ada yang datang, yang tak pernah pergi.
Catatan: Cerpen ini
diilhami kumpulan puisi karya M Aan Mansyur, Tidak Ada New York Hari Ini .
Ni Komang Ariani lahir di
Gianyar Bali, 18 Mei 1978. Telah menerbitkan empat buku, yaitu Lidah , Senjakala , Bukan
Permaisuri , dan Jas Putih . Dua kali masuk nomine
Khatulistiwa Literary Award dan tiga kali masuk Buku Cerpen PilihanKompas . Selain
menulis, saat ini dia bekerja sebagai dosen.
0 Response to "Laki-laki yang Menyeberang dan Perempuan di Tepi Persimpangan"
Posting Komentar