Kehidupan di Dasar Telaga


Cerpen S Prasetyo Utomo (Kompas, 12 Februari 2017)
“ APA aku mesti jadi Sobrah?” Kelakar Arum, perempuan setengah baya itu, sebelum ia menaiki anak tangga untuk mencapai bibir perahu bermesin. Arum menatapi Suman, lelaki setengah baya, teman seperjalanannya dari kota. Lelaki itu masih berdiri di tepi telaga, terdiam. Cekatan lelaki setengah baya itu menaiki anak tangga, memijak papan dasar perahu. Duduk di bangku kayu, berdampingan dengan Arum, Suman berenang guncangan agak menyentak saat tukang perahu — yang sudah memutih rambutnya, tetapi masih kekar — menghidupkan mesin.Lambat, perahu bercat biru tua itu mengarungi telaga. Tak ada perahu lain. Lelaki setengah baya itu berseloroh dalam hati: apa salahnya melakukan sobrah?
Perahu meluncur perlahan meninggalkan daratan, menyibak biru air telaga.Menyibak sunyi kabut tipis pagi. Jauh di ujung telaga, tampak samar puncak bukit, yang lembahnya digenangi udara. Ada makam seorang kekasih, seorang pangeran dan ibu tirinya yang disukai diri sendiri dari keraton, dikuburkan di puncak bukit itu. Orang-orang yang menyeberangi telaga, mendaki bukit, ziarah ke makam, bertemu kekasih, mencari berkah.
Duduk menghadap gelombang kecil telaga disibak perahu, Arum mulai sangsi akan perjalanannya kali ini: Kenapa aku mesti ke bukit itu?
“Kita sedang berlibur, Arum. Kita mencari ketenangan. Tiap hari kita kerja banting tulang, melampaui kerja orang-orang kebanyakan. Kau bukan sobrah, perempuan yang melepaskan kesuciannya pada lelaki, untuk cari berkah.

Kehidupan di Dasar Telaga ilustrasi Polenk Rediasa / Kompas

Duduk berdua dengan Suman di kapal, Arum kembali teringat akan anak perempuannya, Dewi Laksmi, seorang penari, yang berlari mencari, meminta restunya untuk menikah. Ia memang memberi restunya untuk menikah. Ia memang memberi restu. Bagaimana mungkin ia kembali pada keluarga? Ia sudah meninggalkan suami, meninggalkan anak-anak. Ia menerima rumah sendiri dan menerima Suman dalam kehidupannya. Sesekali ia merasa gelisah, tersiksa, dan tebersit rasa malu. Namun mengapa Suman suka tak pernah merasakan tindakannya hina?
“Apa yang kaulihat di permukaan air telaga ini, Arum? Keindahan genangan air?Ikan-ikan yang ditangkapi, dipanggang, dan dijajakan di warung makan tepi telaga?Orang-orang yang berlayar menebar perahu di kapal? ”Suman memegangi tangan Arum. “Apa kamu bisa melihat kehidupan di dasar telaga?”
"Gangang dan ikan-ikan?"
Suman tersenyum pedih. “Di dasar telaga ini di masa lalu lalu, sebelum wilayah ini ditenggelamkan dengan lima aliran sungai yang dibendung. Aku salah satu penduduk yang tinggal di lembah bukit, ayah-ibuku bertani, menggembala sapi dan kambing. Ayam-ayam berkeliaran, mematuki bulir padi dan jagung yang dijemur. "
Deru mesin mendorong laju perahu itu kian mengapung ke tengah tegala, memindahkan pulau-pulau kecil tanpa penghuni. Pulau-pulau itu dulunya bukit-bukit hijau, yang kemudian ditenggelamkan sebagai telaga. Tidak ada lagi rumah-rumah, sawah, ladang, kuburan leluhur dan hutan jati, dengan anak-anak yang bermain bola di padang rumput. Dulu selalu dijumpai Suman wajah-wajah yang getir dan memegang diri, yang menghilang satu demi satu, entah pindah ke mana: pulau seberang sebagai transmigran, merantau ke kota, atau bersembunyi di hutan-hutan jati.
***
PERAHU belum mencapai bukit tempat pangeran dan kekasihnya dimakamkan.Masih jauh Arum melihat perubahan wajah Suman, yang sepekat endapan lumpur telaga. Wajah yang kehilangan senyum, kehilangan pancaran mata, kehilangan gelagat muslihat di dalam lipatan dan gurat-gurat yang gagal. Seperti manusia menyusuri kembali lorong masa lalu, masa remaja, masa lalu yang diterima
“Aku tak bisa lagi mengelola di mana rumah kami, tanah, dan sawah yang suburban,” kata Suman. “Kau tahu, bagaimana ayahku dikejar-kejar aparat desa, melepaskan rumah, sawah, ladang dengan harga sangat murah. Ayah dituduh pembangkang, bahkan kemudian dituding komunis. Sawah kami menggali air sungai, dan tempat tinggal kami terendam. Ayah, ibu, dan kakak perempuan, memindahkan transmigrasi ke pulau seberang. Aku bertahan di sini, mengikuti seorang tetangga, tinggal di desa tak jauh dari telaga, bersekolah, membantu membuat keramba, memelihara ikan, dan mengumpulkannya untuk dijual ke pasar. ”
Masih berkabut, masih senyap, perahu bermesin menyibak air telaga, kadang-kadang pulau-pulau kecil ditumbuhi jajaran pohon jagung, atau berhutan jati, dengan gubuk-gubuk lapuk. Kadang perahu menjauh dari pulau-pulau kecil itu. Tak ada kapal mesin lain yang ada di tengah telaga. Perahu-perahu mesin itu terapung-apung ditambat di dekat warung makan yang menyediakan ikan panggang di tepi telaga. Asap tipis dari tungku-tungku pembakaran mulai mengapung dari tempat itu.
Wajah Suman masih getir. Tak tampak senyum sinis, tampak biasa. Tak terpancar mata seorang penjilat yang rakus. Ia menjelma menjadi lelaki yang tertindas, lelaki yang melepaskan diri dari tekanan batin di masa lalu.
"Aku selalu berlayar mengarungi telaga ini dengan rasa marah," kata Suman. “Di pulau seberang itu mula-mula ibuku meninggal, lalu ayahku meninggal kemudian.Lahan yang digarapnya tak memberikan apa pun, kecuali kemiskinan. Tinggal kakak perempuanku yang bertahan di sana, menikah dengan sesama perantau, dan memiliki dua orang anak. Pernah aku menengok mereka, dalam keadaan yang nestapa, dan tak pernah bisa kembali ke tanah leluhurnya. "
***
ARUM lebih banyak berdiam diri, mendengarkan Suman. Aneh. Kali ini Arum lebih menerima perasaan Suman dari perasaan suami yang ditinggalinya. Suman tak sungkan-sungkan membongkar rahasia yang dibatalkan di mana lalu. Ia menyetujui dan menyelesaikan kuliah arsitektur lantaran dan memiliki biaya dan memulai hidup sebagai mandor bangunan — sebelum akhirnya perlahan-perlahan menikmati kerja sebagai pemborong. Suami Arum senantiasa senang melihat gagah dan tangguh, hadir dari masa lalu yang bersih.
Laju perahu mencapai bukit tempat pangeran dan kekasihnya dimakamkan.Dengan tangga kayu kecil, hati-hati sekali, Arum naik dari perahu, naik perbatasan.Suman tak butuh tangga itu. Ia meloncat dari bibir perahu, mencapai daratan.Wajah Suman dan sekeruh kompilasi meluncur dalam kapal. Ia mulai melepaskan Arum, "Mari, kita ziarah ke makam pangeran, lalu kau akan menyetujui sobrah!"
Mendaki jalan berundak-undak ke makam pangeran, wajah Suman kini tak lagi beku. Ia telah kembali ke perangai sehari-hari: penebar jerat, pemasang perangkap.
“Di sekitar sini banyak penginapan. Kita bisa bermalam. "
“Dipindahkanlah sendiri. Aku akan turun ke kota. "
Bertemu dengan juru kunci yang berwajah keriput, ganti lurik, arumenangkan tentram. Lelaki tua yang menerima siapa pun dengan senyum tulus. Sepasang salah arah. Dari bibirnya senantiasa mengepul asap rokok kretek. "Mari, Ziarah.Datanglah ke makam ini dengan hati bersih. "
Bunga tertabur di pusara pangeran. Dupa leleh dihitam di atas arang yang padam, di atas anglo kecil. Juru kunci itu sangat santun pada Suman, seperti sudah mengenal sangat lama. Namun Arum tak berani menyingkap keakraban ini menjadi kesimpulan: Suman sering ziarah ke makam ini. Tentu tidak ziarah seorang diri. Dia datang ke makam ini bersama perempuan sobrah? Lama Suman berdoa.Matanya terpejam, seperti ingin melepaskan segala kesialan hidup di masa lalu.Orang-orang yang sudah meninggalkan makam, tetapi Suman masih bersimpuh dengan doanya.
Meninggalkan makam yang dikeramatkan, berjalan lambat-lambat, seperti manusia semakin menurun jalan berundak-undak mencapai bibir telaga. Arum menarik tangan Suman, segera menuju ke kapal, kembali menyeberangi telaga.Mereka diseberangkan tukang perahu yang tadi mengantar mereka ke bukit.Muka Suman kembali suram sepanjang perjalanan perahu. Matanya kelam melihat kehidupan di dasar telaga. Terus-menerus memandangi permukaan air telaga, seperti ingin melihat kehidupan masa lalu yang penuh tantangan.
***
ASAP ikan panggang memenuhi pasar tradisional di tepi telaga. Arum duduk di karpet warung makan ikan nila panggang. Suman tak ingin menikmati ikan panggang apa pun. “Aku tak bisa makan dari kehidupan di telaga ini. Tak tega.Pesankan saja aku kelapa muda. ”Arum melumuri ikan panggang itu dengan sambal kecap. Ikan yang gurih segar disantap dengan sambal terasi dan lalapan irisan mentimun. Ia sangat menikmatinya.
"Kadang aku sangat berdosa terhadapmu," kata Suman.
Arum berhenti mengunyah ikan panggang. Memandangi lelaki setengah baya yang memendam kepedihan dalam kemenangan. Ia tidak pernah menyetujui bila Suman membongkar kepedihan hidup masa lalunya. Ia menerima sudah menyimpang terlalu jauh dengan meninggalkan suami, dua anak perempuan, untuk mencari pekerjaan, menerima rumah sendiri, dan menerima Suman dalam kehidupannya.Namun ia tidak kecewa.
“Aku telah menyeretmu meninggalkan keluarga. Mula-mula membujukmu mengikuti pemilihan kepala daerah. Memaksamu sebagai calon wakil walikota, dan kalah, hingga menangugian. Kau menjual rumah dan ladang. Aku memintamu meninggalkan keluarga, memberimu pekerjaan dan rumah. Apa kau tak pernah berpikir untuk kembali pada suami dan anak-anak? ”
Arum tengah menikmati ikan panggang dan sambal terasi yang ingin memuaskan makannya. Ia makan dengan lahap. Sama sekali ia tidak terpilih, Suman akan memintanya kembali pada suami.
"Ingat, putri bungsumu bakal nikah!" Desak Suman. "Ia menerima kedatanganmu."
"Lalu, bagaimana dengan kamu?"
"Aku? Aku tetaplah hidup seperti sedia kala, menjadi pemborong bangunan dan merawat istriku yang lumpuh. Mungkin, jika beruntung, aku akan menemukan perempuan lain sebagai penggantimu. ”
"Semudah itu?"
“Menjauhlah dariku, sebelum aku berubah pikiran!” Pinta Suman, menatapi air telaga, bening dan tenang. Perahu-perahu beriringan berlayar di atas telaga, dengan para penumpang yang berwajah ceria: bercanda di atas perahu dan Suman nyaman di tengah-tengah menertawakannya.
Arum tak memberi jawaban. Ia tetap menikmati ikan panggang, sambal terasi, dan lalap irisan mentimun, sampai tinggal duri-duri ikan terserak di piring, dan kepala nila yang utuh. Ia tak bisa lagi kembali pada suami, yang selama ini tak pernah dicarinya. Dewi Laksmilah, anak perempuannya, yang diam-diam selalu menemuinya dan meminta agar ia kembali pada suami. Dewi Laksmi ingin pernikahannya dengan Wisnu didampingi ayah dan ibu.
Meninggalkan warung makan lesehan di pasar tradisional, hari tiba senja, hutan-hutan jati yang memulai telaga memantulkan bayang-bayang kegelapan. Para penjual ikan panggan meninggalkan tepi telaga dengan mobil bak terbuka. Tak ada cahaya listrik. Genangan udara telaga kian menghitam. Pulau-pulau mengabur di tengah telaga. Bukit dan langit menghitam. Kabut mulai turun. Mengendap di sekitar telaga.
Suman pindah mobil yang masih baru. Arum duduk di sisinya. “Kau boleh bawa mobil ini. Aku sudah memberikannya padamu. Mobil ini kubeli atas namamu. "
Terdiam, di ruang parkir yang tenangap, tak ada lagi mobil lain dan pengunjung telaga. Dari dalam hutan jati mulai terdengar ramah suara, terdengar dari kegelapan pekat tanpa cahaya. Suman enggan meninggalkan tempat parkir. Ia masih memandangi telaga, seperti melihat kehidupan di tengah. Telaga menghitam, perahu-perahu yang ditambatkan Gambar hangus terbakar. Masih tersisa aroma segera ikan di pasar tradisional dan warung makan yang ditinggal pulang penjualnya. Arum bisa membaca pertentangan hasrat dalam batin Suman.
"Aku tak akan kembali pada saat menikahiku," kata Arum pelan.
Tanpa menunjukkan perasaannya, Suman mengendarai mobil itu tenang, cahaya lampunya terang, menyibak jalan berkelok-kelok gelap, menuruni celah hutan-hutan jati, menjauhuhi telaga.
***

Catatan :
Sobrah: seorang perempuan yang mencari berkah di Gunung Kemukus, setelah ziarah ke makam Pangeran Samodra, dengan jalan yang berhubungan intim dengan lelaki bukan yang berhak.

S Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Semenjak 1983 menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa. Tulisannya antara lain dibukukan dalam antologi Perdebatan Sastra Kontekstual (antologi esai, 1985), Antologi Puisi Jawa Tengah (antologi puisi, 1994), Serayu (antologi puisi, 1995), Ritus (antologi cerpen, 1995), Lawang Sewoe (antologi puisi, 1996 ),Sesudah Layar Turun (antologi puisi, 1996).


0 Response to "Kehidupan di Dasar Telaga"

Posting Komentar